Faktor risiko perokok pasif terkena kanker paru adalah empat kali lipat, sedangkan perokok aktif 13,6 kali lipat
Jakarta (ANTARA) - Kawasan tanpa rokok menjadi kebutuhan mutlak untuk melindungi masyarakat dari paparan asap rokok agar tidak menjadi perokok pasif, kata Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi.

"Sangat mendesak agar semua tempat kerja dan tempat umum menjadi kawasan tanpa rokok, tanpa kompromi," kata dia melalui pesan tertulis yang diterima di Jakarta, Senin.

Ia mengatakan kematian Kepala Pusat Data, Informasi, dan Hubungan Masyarakat Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho seharusnya membuka mata semua pihak terhadap arti penting kawasan tanpa rokok.

Menurut Tulus, Sutopo adalah salah satu putra terbaik bangsa Indonesia yang lagi-lagi harus tumbang karena kanker. Sutopo meninggal di Guangzhou, China saat menjalani pengobatan akibat kanker paru stadium IVB

Sutopo mengaku menjaga perilaku hidup sehat dan tidak merokok, tetapi juga menyatakan kerap mendapati lingkungan kerja yang penuh asap rokok dan tidak bisa menghindar.

"Dalam hal sebagai perokok pasif, Pak Sutopo tidak sendirian. Secara nasional, menurut Riset Kesehatan Dasar 2013, jumlah perokok pasif mencapai lebih dari 90 juta orang, 12 juta lebih adalah anak usia nol hingga empat tahun," kata Tulus.

Ia mengatakan para perokok pasif kebanyakan terpapar asap rokok di tempat kerja bahkan di dalam rumahnya sendiri.

"Faktor risiko perokok pasif terkena kanker paru adalah empat kali lipat, sedangkan perokok aktif 13,6 kali lipat," katanya.

Oleh karena itu, YLKI mendesak semua pihak dan para pimpinan wilayah untuk mewujudkan kawasan tanpa rokok, khususnya di tempat kerja, tempat umum, dan angkutan umum.

"Menghirup udara yang sehat tanpa kontaminan racun asap rokok adalah hak asasi setiap orang di mana pun tempatnya," kata dia. 

Baca juga: Dari sudut penyakit, rokok lebih rugikan perokok pasif
Baca juga: Penyakit akibat rokok diusulkan dapat subsidi

Pewarta: Dewanto Samodro
Editor: M. Hari Atmoko
Copyright © ANTARA 2019