Jakarta (ANTARA) - Aktivis organisasi Perempuan Mahardhika, Mutiara Ika, meminta Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengesampingkan prasangka dalam melakukan kajian terhadap Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).

"Yang pertama sekali untuk MUI itu jangan mengedepankan prasangka dulu," kata Ika di Jakarta, Rabu.

Wakil Sekretaris Jenderal MUI Amirsyah Tambunan pada Senin (25/3) menyatakan MUI tengah mengkaji isi RUU PKS dan akan menyerahkan hasilnya ke DPR supaya parlemen bisa menggunakannya sebagai pertimbangan dalam mengesahkan peraturan perundangan tersebut.

Ia mengatakan MUI melakukan kajian akademik untuk memastikan rancangan undang-undang tersebut bisa memberikan perlindungan bagi masyarakat dan mencegah terjadinya penyimpangan seksual seperti perzinaan, perkawinan sejenis, dan seks bebas.

Ika menyebut kajian dalam koridor itu merupakan bentuk prasangka yang dibesar-besarkan.

Dia menekankan bahwa pembahasan RUU PKS seharusnya berdasarkan pada pencarian keadilan untuk korban.

"Jadi mari kita semuanya, baik itu MUI atau masyarakat sipil yang lain, apalagi DPR dan pemerintah, mari menggunakan prinsip keberpihakan terhadap korban," katanya.

Ika menambahkan RUU PKS semestinya lepas dari kepentingan ideologi mana pun.

"Di sini tidak ada yang bertentangan ketika semuanya itu berpihak pada korban. Saya pikir pertentangan-pertentangan antara ideologi itu bisa kita kesampingkan, kemudian bagaimana kita melihat sebuah proses yang memang diperlukan oleh korban untuk mendapatkan keadilannya," katanya.

Sementara Saras Dewi, dosen filsafat di Universitas Indonesia yang juga aktivis pendorong RUU PKS, menyebut kajian MUI yang menggunakan koridor pencegahan penyimpangan seksual sebagai permainan kata-kata.

"Permainan kata-kata yang dikeluarkan dalam rekomendasi sebenarnya anjuran atau pikiran yang tersirat itu menurut saya bahaya. Politik seperti itu bahaya," kata Saras melalui sambungan telepon.

Dia mengatakan permainan kata-kata yang terus diulang tersebut berakar dari prasangka untuk menafsirkan seolah-olah RUU PKS adalah pintu masuk zina, sehingga mempersempit bahasannya hanya pada zina serta kelompok lesbian, gay, biseksual, dan transgender (LGBT) saja.

Mengenai pihak-pihak yang menentang RUU PKS, Saras mengatakan, "Kita punya kesimpulan mereka yang keberatan ini adalah mereka yang selama ini memang senang dengan keadaan seolah-olah bahwa kekerasan seksual itu samar, sumir".

Saras mengatakan perjuangan mengupayakan pengesahan RUU PKS merupakan fase penting untuk memahami keadilan, khususnya keadilan bagi korban kekerasan seksual yang selama ini tidak bisa bersuara.

Proses tersebut membutuhkan jangka waktu panjang. Saras memberi contoh, proses pengesahan Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga yang memakan waktu delapan tahun dengan tekanan dari masyarakat pascareformasi.

"Saya juga melihat kecenderungan yang sama bahwa memang butuh keterlibatan dan partisipasi dari masyarakat untuk menunjukkan bahwa ini sungguh-sungguh mewakili kepentingan masyarakat, khususnya masyarakat atau individu yang rentan," demikian Saras Dewi.
 

Pewarta: Virna P Setyorini/Suwanti
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019