Jakarta (ANTARA) - Kota Sibolga di Provinsi Sumatera Utara yang selama ini praktis tidak pernah masuk dalam "daftar hitam" Kepolisian Republik Indonesia (Polri), sejak Selasa (12/3), tiba-tiba menjadi sorotan dunia internasional.

Seorang lelaki yang diduga bernama Abu Hamzah alias Husein ditangkap oleh Detasemen Khusus (Densus) 88 Polri dengan dugaan terlibat kasus terorisme yang organisasinya berafiliasi kepada organisasi teroris internasional.

Abu Hamzah tinggal di Sibolga bersama istri dan seorang anaknya yang diperkirakan berusia tiga tahun. Dia jarang sekali bergaul dengan para tetangganya, sehingga kegiatan sehari-harinya sulit dideteksi.

Setelah Abu Hamzah ditangkap aparat keamanan, istri dan anaknya tetap bertahan di dalam rumah dan tidak mau menyerah. Akan tetapi, pada Rabu (13/3), perempuan tersebut meledakan diri bersama anaknya.

Kapolda Sumatera Utara Inspektur Jenderal Polisi Agus Andrianto mengungkapkan bahwa Densus menemukan berbagai bom dan bahan peledak yang beratnya kurang lebih 300 kilogram.

Sekalipun disebutkan bom-bom tersebut itu berdaya ledak rendah, warga berhak berpendapat bahwa bahan peledak tersebut sangat berbahaya apalagi jika meledak sekaligus.

Densus 88 bersama Polda Sumut kemudian meledakan bom-bom tersebut sedikitnya tiga kali di luar Kota Sibolga.

Sementara itu, akibat sang istri yang meledakkan diri, rumah-rumah tetangga di sekitarnya banyak yang hancur, rusak berat, dan rusak ringan.

                                                        Tak Lepas
Pihak Polri berpendapat bahwa kasus Sibolga ini tidak bisa dilepaskan dari berbagai kegiatan sejenis di Lampung, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, hingga Nusa Tenggara Barat.

Rakyat Indonesia pasti tidak bisa melupakan berbagai tindak teror seperti di depan gedung PT Sarinah di Jakarta, kemudian penyerangan kantor polisi di Depok, Jawa Barat, lalu di Surabaya hingga Pekanbaru, Riau.

Berbagai teror itu bisa diperkirakan tidak berdiri sendiri-sendiri tapi merupakan rangkaian kegiatan yang direncanakan secara sistematis dan terstruktur.

Jika pada masa lalu kegiatan teror dilakukan secara berkelompok atau bersama-sama oleh segelintir teroris maka sekarang terorisme dilancarkan oleh orang per orang sehingga sulit sekali dideteksi.

Bagi masyarakat, berbagai kegiatan kekerasan ini sering sekali dikaitkan atau membawa-bawa nama agama Islam. Padahal Islam secara jelas tidak pernah mengajarkan kegiatan kekerasan atau teror.

Jadi, para ulama, kiai, ustadz, atau ustadzah tentu wajib menjelaskan kepada seluruh umat Islam di Tanah Air bahwa kegiatan teror adalah tindakan yang pantang dilakukan oleh umat Islam apalagi di Negara Kesatuan Republik Indonesia ( NKRI ) tercinta ini.

Indonesia memiliki begitu banyak pemuka agama Islam. Nama-nama seperti Profesor Quraish Shihab, Nazaruddin Umar, Ustadz Abdul Somad, hingga Abdullah Gymnastiar alis Aa Gym. Materi-materi ceramah mereka bisa dipastikan di berbagai forum atau daerah, tidak usah diragukan kebenarannya atau kehebatannya.

                                                       Pemilihan
Oleh karena Indonesia pada 17 April 2019 akan melaksanakan pemilihan presiden dan pemilu legislatif, maka pesta demokrasi ini harus disukseskan.

Calon pemilih jumlahnya 190,77 juta orang yang tersebar di 34 provinsi, 514 kota serta kabupaten. Sukses pemilu mendatang juga menjadi tugas sangat penting yang harus dilaksanakan para ulama.

Pemilu tinggal sekitar 30 hari lagi sehingga segala daya dan dana harus dikerahkan agar pesta demokrasi tersebut berlangsung secara jujur dan adil.

Oleh karena sebagian besar pemilih tentunya beragama Islam, maka kelompok mayoritas ini harus ikut menyukseskannya. Di situlah peran penting alim ulama.

Sebagian kecil ulama sangat jelas berpihak kepada salah satu dari calon presiden. Mereka sebagai seorang warga negara tentu berhak menentukan siapa yang bakal dipilih atau dicoblosnya. Akan tetapi, sebaliknya sebagai tokoh umat, maka mereka harus membela umatnya siapa pun yang mereka pilih.

Menjelang pelaksanaan pesta demokrasi ini telah muncul berbagai tindak kekerasan atau terorisme. Jadi tentulah para ulama ini wajib mengingatkan semua Muslim dan Muslimah tanpa mengganggu pihak lain yang mana pun juga.

Para teroris selalu berpendapat bahwa hanya mereka sendirilah yang benar atau bahkan paling benar. Sebaliknya kelompok lain dimusnahkan atau pantas dibunuh.

Oleh karena para alim ulama, baik yang berkelas nasional, provinsi, maupun kota atau kabupaten, hingga tingkat desa harus berusaha mendekati orang atau kelompok terduga teroris.

Jelaskan kepada mereka bahwa Nabi Muhammad SAW dan para sahabatnya tidak pernah melakukan tindakan kekerasan apapun terhadap pihak lawan. Nabi Muhammad selalu berusaha meyakinkan berbagai pihak tentang kebenaran-kebenaran ajaran agama Islam.

Jadi, tokoh-tokoh Islam di Indonesia harus terus berusaha melakukan pendekatan atau meyakinkan para terduga teroris itu bahwa mereka sama sekali tidak boleh atau tidak pantas mengancam, apalagi membunuh sesama warga negara Indonesia.

Oleh karena Indonesia adalah negara yang demokratis maka setiap warga negara berhak menjatuhkan pilihannya atau sebaliknya tidak memaksa sesama anak bangsa lainnya untuk mengikuti pilihan mereka.

Para dai, ustadz, tentu berhak menjatuhkan pilihan kepada calon presiden dan wakil presiden yang mana pun juga. Pilihan itu dilakukan setelah melalui berbagai pertimbangan seperti menyetujui visi dan misi politik calon atau pun strategi politiknya.

Akan tetapi, karena sekarang rakyat Indonesia sedang menghadapi aksi-aksi teror maka para alim ulama juga mempunyai kewajiban "menghabisi" kelompok-kelompok jahat ini. Misalkan, dengan memberi tahu atau mengajarkan bahwa kata 'jihad' tidaklah berarti harus membunuh orang lain, apalagi melakukan tindak kekerasan.

Kepada para terduga teroris itu harus dijelaskan atau diyakinkan bahwa proses meyakinkan orang untuk mengubah kepercayaan atau keyakinan selama ini juga bisa disebut sebagai jihad.

Kelompok-kelompok teroris di Tanah Air selalu melakukan kontak dengan teman teman mereka di luar negeri, di Filipina Selatan, Suriah, dan lain lain. Jadi alim ulama Indonesia juga harus berusaha menghentikan jalur komunikasi itu.

Di Tanah Air terdapat berbagai lembaga atau instansi pemerintah yang bertugas memberantas aksi-aksi teror mulai dari Densus 88 Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), hingga Badan Intelijen dan Strategis Markas Besar TNI (BAIS TNI).

Akan tetapi, jangan pernah dilupakan peran penting jajaran alim ulama untuk memberantas semua aksi teror apalagi mereka seringkali mengatasnamakan atau membawa bawa nama Islam.

Di sisi lain, semua alim ulama juga berkewajiban menyukseskan pesta demokrasi pada 17 April 2019.

Ulama, baik secara individual maupun terorganisasi, mempunyai hak untuk mendukung atau mencoblos gambar capres atau cawapres yang mana pun juga. Akan tetapi, segenap ulama juga wajib berikhtiar menghentikan aksi-aksi teror apalagi jika mengatasnamakan agama Islam.

Pemilu harus sukses akan tetapi menghentikan aksi teror juga wajib dilaksanakan semua ulama, tanpa kecuali. 


*) Penulis adalah wartawan Antara tahun 1982-2019, pernah meliput acara-acara kepresidenan tahun 1982-2009

Copyright © ANTARA 2019