Gurat kelelahan nampak di wajah Qurratta A'yuna Adrianus (22), yang mengaku baru saja menjalankan tugasnya sebagai asisten dosen. Perempuan muda yang mengenakan jilbab berwarna pink itu berusaha tersenyum menghapus raut lelah di wajahnya.

Tak ada yang berbeda dengan Yuna, panggilan akrabnya. Ia sama halnya dengan mahasiswa lainnya, yang berbeda hanya Yuna mengenakan kursi roda.
   
Semua berawal dari gempa 7,6 SR yang mengguncang Sumatera Barat dan sekitarnya pada 30 September 2009 lalu. Saat itu, Yuna sedang belajar di sebuah bimbingan belajar. Gedung tempat ia belajar roboh dan puing-puing bangunan menimpa kakinya. Kakinya pun harus diamputasi 20 hari kemudian. Ia pun sempat dua setengah bulan tidak sekolah usai gempa.
  
"Awal-awal sempat minder. Tapi dengan bantuan orangtua dan teman-teman akhirnya bangkit lagi. Orangtua sangat peduli pada saya, " kata Yuna.
   
Sejak itu, ia menghabiskan hari-harinya di kursi roda. Meski berada di kursi roda, hal itu mematahkan semangatnya dalam meraih cita-cita.  Ia mengaku tidak mudah menjalani hidup yang baru dengan kursi roda.
   
Anak pertama dari dua saudara pasangan Maini Efi Yanti dan Adrianus Anwar itu, bahkan pada 2013 berangkat ke Amerika Serikat. Selama setahun ia berada Vancouver, Washington DC, untuk mengikuti program pertukaran pelajar. "Saat saya kelas 10, saya mencoba mencari program yang bisa menfasilitasinya untuk mengikuti program pertukaran pelajar."
   
Pulang ke Tanah Air usai pertukaran pelajar, lulusan SMAN 10 Padang itu kemudian mendaftar Seleksi Nasional Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SNMPTN). Ia pun berhasil diterima di program studi Ilmu Komputer Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia.
   
Yuna juga mendapatkan beasiswa Bidikmisi, yakni bantuan biaya pendidikan bagi calon mahasiswa tidak mampu secara dan memiliki potensi akademik yang baik.
    
Dengan beasiswa itu pula, ia bisa menempuh pendidikan di perguruan tinggi. Menurut dia, pekerjaan ayahnya sebagai pedagang bahan bangunan kerap pasang surut. "Apalagi sejak gempa 2009 lalu, minat masyarakat untuk membangun rumah semakin berkurang," jelas Yuna.
    
Untuk memenuhi kebutuhan hidupnya, saat ini Yuna menjalani tugas sebagai asisten dosen mata kuliah perangkat lunak. Tugasnya yakni membimbing mahasiswa semester bawah dalam mengerjakan proyek kuliah. Dengan demikian, ia bisa memenuhi kebutuhannya sehari-hari.
    
Saat ini, Yuna sedang menempuh semester delapan dan sedang menyusun skripsi. Selama kuliah di Universitas Indonesia, ia mengaku baik-baik saja dan merasa seperti layaknya mahasiswa normal, meskipun ia disabilitas. "Di sini baik-baik saja. Semua peduli dan kalau butuh bantuan tinggal bilang."
   
Untuk menuju ruang kelas pun, sejumlah gedung telah dilengkapi dengan lift. Sehingga ia dengan mudah menuju ruang kuliahnya.

Para teman-teman dan dosennya pun mengerti keadaannya. Misalnya mau ketemu dengan dosen, maka ia akan mengirimkan surat elektronik kepada dosennya jika lokasinya sulit diakses penyandang disabilitas, maka dosennya pun akan turun menemuinya.
   
"Di UI juga ada mobil khusus disabilitas. Biasanya pulang kuliah mobil itu menjemput dan mengantar pulang ke asrama," jelas dia.
    
Walaupun terkadang, ia memilih pulang sendiri ke asrama. Hal ini dikarenakan ia mengikuti sejumlah kegiatan di kampus. Ke depan, dia berharap semakin banyak akses untuk disabilitas terutama untuk di sekitar jalan raya.
   
Sebagai penyandang disabilitas, dia enggan untuk dikasihani dengan kondisi fisiknya saat ini. "Jangan dikasihani, lebih baik diberikan akses saja," imbuh Yuna yang ingin menjadi pengembang front end tersebut.
   
Yuna yang saat ini meyusun skripsi mengenai pengembangan prototipe aplikasi yang menyediakan fasilitas bagi penyandang disabilitas. Aplikasi itu nantinya berbasiskan crowdsource dengan kata lain, sumber informasi tidak hanya satu tapi banyak.
    
Dengan banyaknya kegiatannya, itu tak menghalangi Yuna meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) diatas tiga. Dengan IPK tersebut, ia berhasil mempertahankan beasiswanya. "Saya berharap agar semuanya tetap semangat, melakukan sebisa kalian dan semaksimal mungkin serta bermanfaat bagi diri sendiri dan semua orang," imbuh dia.



Pendidikan inklusif

Rektor Universitas Indonesia Prof Dr Ir Muhammad Anis berupaya menyediakan pendidikan inklusif di kampus yang dipimpinya itu.
    
"Pada tahun 2018, kami meluncurkan unit pelayanan disabilitas. Unit ini tidak hanya memberikan pelayanan belajar-mengajar di ruang kelas tetapi juga memberikan pelatihan penggunaan perangkat disabilitas," ujar Anis.
    
Melalui unit tersebut, juga memberikan advokasi kepada warga UI mengenai pentingnya perhatian kepada penyandang disabilitas. Anis berharap dengan unit tersebut, maka diharapkan mahasiswa disabilitas yang sedang mengenyam pendidikan di UI dapat mencapai potensi maksimalnya.
    
Hal itu juga menjadi sebuah gerakan untuk menciptakaan lingkungan yang ramah dan berkualitas untuk mahasiswa penyandang disabilitas sekaligus menunjukkan kesetaraan di dalam kampus.
    
Sejumlah infrastruktur di kampus juga sudah ramah disabilitas seperti adanya toilet khusus difabel. Selain itu juga menyediakan mobil layanan untuk mahasiswa disabilitas.*


 

Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2019