Jakarta (ANTARA News) - Di dunia akademis dalam tradisi pemikiran liberal, ada ungkapan atau slogan populer bahwa sopan santun merusak diskusi.

Mudah untuk memahami makna slogan itu. Setidaknya, di sana tersirat ajakan untuk berdiskusi secara objektif, tak perlu berbasa-basi seperti percakapan di kalangan diplomat, yang setiap tutur kata disampaikan dengan hati-hati agar tak timbul salah paham.

Diskusi dan perdebatan tak perlulah ditilik perbedaan semantiknya. Pada dasarnya keduanya sama-sama berupa percakapan dua atau lebih pihak dalam bentuk pertukaran gagasan untuk menemukan ide terbaik.

Diskusi ilmiah yang dilakukan kaum akademisi tentu maksudnya seperti itu, melahirkan gagasan yang paling sedikit kelemahannya untuk diaplikasikan.

Meskipun modus operasinya memiliki kemiripan, debat politik, dalam hal ini perdebatan antarcalon presiden, seperti yang diselenggarakan dua kali oleh Komisi Pemilihan Umum dalam konteks Pemilihan Presiden 2019, punya tujuan yang lebih khusus, yakni memperlihatkan kepada publik tentang siapa calon presiden yang paling layak untuk memimpin negeri ini.

Nah, dalam bingkai debat capres ini, berlakukah slogan yang diyakini manfaatnya buat diskusi di kalangan akademisi itu? Haruskah capres petahana dan penantang tidak perlu memperhitungkan etiket, sekali lagi etiket bukan etika, dengan bersopan santun dalam debat yang akan diselenggarakan sekali lagi untuk bulan Maret mendatang?

Tampaknya, debat capres punya arah dan tujuan yang berbeda sama sekali dengan diskusi ilmiah. Para kandidat presiden berdebat bukan cuma disaksikan oleh komunitas kampus atau kalangan ilmuwan, tapi oleh seluruh rakyat yang tingkat pendidikannya berbeda-beda.

Para capres bukan hanya harus tampil cerdas, meyakinkan secara keilmuan di mata kaum terpelajar tapi juga harus tampil simpatik di mata warga negara biasa, yang tentu saja juga menilai kesantunan dan kerendahhatiannya.

Untuk itu, slogan di atas boleh dibilang tak sepenuhnya berlaku untuk debat capres. Dari berbagai komentar yang muncul di media massa maupun media sosial, penilaian dari sisi etiket juga tak ketinggalan disampaikan oleh warganet. Artinya, capres juga dituntut tampil simpatik ketika bersilat lidah menghadapi lawannya.

Debat capres yang sarat kepentingan politis juga berseberangan dengan diskusi ilmiah.

Setidaknya dari dua kali debat capres yang terselenggara, masing-masing kubu pendukung memberikan penilaian yang menimbulkan gelak tawa bagi kaum yang mencoba untuk tidak berambisi memihak salah satu kubu.

Sisi kocak dari komentar yang muncul tak lain adalah penyamaan debat capres dengan pertandingan sepak bola.

Baik kubu petahana maupun kubu penantang sama-sama memberikan penilaian kepada masing-masing capres idola mereka berupa skor 5-0. Pendukung petahana menilai 5-0 untuk kemenangan petahana dan kubu penantang juga menilai 5-0 untuk kejayaan penantang.

Barangkali di sinilah sisi-sisi politis yang tak mungkin termuat dalam diskusi akademis.

Sisi etiket atau sopan-santun dalam debat capres antara Joko Widodo dan Prabowo Subianto boleh jadi tak jadi pertimbangan utama.

Namun, lain lagi perkaranya ketika yang berdebat nantinya adalah dua sosok yang jarak usia dan perbedaan kariernya cukup signifikan.

Ma`ruf Amin versus Sandiaga Uno adalah dua fenomena yang kontras. Predikat Ma`ruf Amin yang ulama senior dan Sandiaga Uno yang pengusaha relatif muda memperlebar spektrum psikis masing-masing.

Dari wacana yang beredar, Ma`ruf Amin tampaknya sudah merasa bahwa Sandiaga Uno akan merasa kikuk alias segan berdebat dengan dirinya sehingga kiai dari kalangan nadliyin Banten itu wanti-wanti agar tak perlu sungkan-sungkan dalam beradu debat dengannya.

Dibandingkan dengan Prabowo yang cenderung melontarkan pernyataan-pernyataan kontroversial, sang cawapres yang murah senyum ini memperlihatkan citra sebagai sosok yang santun, lebih banyak mengalah dan merendah.

Dengan sikap seperti itu, bisa diprediksi bahwa Sandiaga akan menerapkan prinsip yang bertolak belakang dengan slogan di atas. Kesantunan dalam berdebat melawan Ma`ruf Amin akan dipilih oleh Sandiaga Uno.

Sandiaga tampaknya menyadari bahwa dia lebih suka dipandang sebagai cawapres yang simpatik daripada agresif dalam debat cawapres. Apalagi menghadapi Ma`ruf Amin yang pelan dan nyaris tanpa intonasi tinggi dalam bertutur, Sandiaga tak akan menampilkan diri sebagai pendebat yang tidak santun.

Bagi publik yang selama ini sering disuguhi tontonan debat dalam acara tayang bincang di televisi, terutama di acara yang dipandu oleh moderator yang suka dengan perdebatan panas menggelora, debat cawapres agaknya akan mengalami antiklimaks.

Jika prediksi perihal kemungkinan terjadinya debat antiklimaks itu benar, pemandangan yang kontras antara debat Jokowi-Prabowo dan debat cawapres Ma`ruf-Sandi bolehlah dipandang secara positif sebagai varian dalam lanskap debat politik dalam Pilpres 2019.

Semua itu akan menjadi catatan sejarah politik, yang setelah melihat hasil Pilpres 2019 itu kelak, para politisi di kemudian hari bisa belajar dari pengalaman yang dilakukan oleh para kandidat baik capres maupun cawapres.

Periset atau ilmuwan politik, yang mengkhususkan diri meneliti korelasi gaya debat dan kemenangan dalam pilpres, bisa mengambil konklusi untuk memperkaya khazanah perpolitikan di Tanah Air.

Yang jelas, slogan bahwa sopan-santun merusak diskusi agaknya kecil kemungkinannya untuk dipraktikkan oleh politisi yang sedang bersaing memperebutkan kekuasaan.


Baca juga: Cawapres Ma'ruf Amin siap hadapi debat
Baca juga: Sandiaga Uno katakan debat bukan ajang saling kritik

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019