Pada  2030, permintaan biofuel diprediksi mencapai 67 juta ton dan membuka peluang deforestasi 4,5 juta hektare
Pekanbaru  (ANTARA News) - Aktivis lingkungan Greenpeace merasa kecewa dangan komitmen kedua calon presiden pada Pilpres 2019 terkait pembangunan lingkungan hidup yang berkelanjutan.  

"Capres Jokowi dan Prabowo sama-sama mendukung biodiesel ataupun biofuel dari B20 hingga ke B100. Terkait hal ini, kedua capres tidak memberikan jaminan program biofuel tanpa menggerus keberadaan hutan alam, lahan gambut dan mangrove," kata Kepala Greenpeace Indonesia Leonard Simanjuntak dalam pernyataan pers yang diterima Antara di Pekanbaru, Senin.

Debat calon presiden (capres) kedua pada Minggu (17/2) malam yang membahas isu energi, infrastruktur, pangan, sumber daya alam dan lingkungan hidup tidak menjawab sejumlah persoalan utama lingkungan hidup yang terjadi di Indonesia saat ini, kata dia.

Greenpeace menilai, kedua capres mengedepankan energi yang bersumber dari kelapa sawit, yang berpotensi menambah angka deforestasi.  

Menurut analisis data Hansen dari University of Maryland 2000-2017, lanjut Leonard, laju penggundulan hutan yang terjadi sepanjang 2015-2017 tercatat masih mencapai 650.000 hektare.  

Berdasarkan kajian Cerulogy, kebijakan biofuel (minyak nabati) telah menciptakan permintaan minyak sawit sebesar 10,7 juta ton. Pada  2030, permintaan biofuel diprediksi mencapai 67 juta ton, dan membuka peluang deforestasi baru sebesar 4,5 juta hektare serta hilangnya 2,9 juta lahan gambut.  

Greenpeace berpandangan pemenuhan kebutuhan energi yang dijawab hanya dengan pengembangan biofuel secara masif tidak tepat. Pasalnya, potensi energi terbarukan yang bersumber dari tenaga surya dan angin jauh lebih besar.

Kapasitas terpasang energi surya dan angin pun masih jauh di bawah bioenergi.  

Selain itu, kedua calon juga tidak memiliki sikap yang tegas terhadap lubang-lubang tambang yang dibiarkan tanpa penegakan hukum.

Padahal, di Kalimantan Timur, lubang-lubang tambang batu bara telah menyebabkan kerusakan lingkungan dan pencemaran sungai yang akhirnya berdampak serius pada penghidupan warga. Hingga akhir 2018, terdapat 31 korban meninggal akibat lubang-lubang tambang batu bara di Kalimantan Timur. 

"Penegakan hukum sulit dilakukan karena adanya keterlibatan elit politik dan pengambil kebijakan dalam bisnis tersebut," katanya.  

Batu bara melalui keberadaan PLTU ditambah dengan kebakaran hutan telah merusak kualitas udara Indonesia.

Polusi udara mengancam kesehatan dan mengganggu produktivitas masyarakat.

Percepatan infrastruktur pun seringkali mengabaikan hak-hak masyarakat lokal, seperti petani dan nelayan. Contohnya, perencanaan pembangunan PLTU Batang yang menggusur petani dan nelayan, kriminalisasi aktivis penolak PLTU di Cirebon/Indramayu, tambang emas di Tumpang Pitu, Banyuwangi, dan juga di Surokonto, Jawa Tengah dengan tuduhan yang sama sekali tidak masuk akal.  

Persoalan sampah plastik yang sudah menyentuh titik krisis juga luput dari perhatian kedua calon presiden. Pemerintah sudah menyatakan komitmen untuk mengurangi sampah plastik di laut sebesar 70 persen pada 2025, tapi detail aksi konkret belum terlihat. 

Pengendalian jumlah plastik sekali pakai dengan fokus pada pengurangan (reduce) belum menjadi langkah utama yang diambil.  

Secara keseluruhan, komitmen untuk mengatasi perubahan iklim di kedua kubu tidak terlihat.

Padahal Indonesia meratifikasi Kesepakatan Paris, dan berkomitmen untuk menurunkan emisi sebesar 29 persen. 

"Komitmen penurunan emisi tidak akan tercapai, jika arah pembangunan masih berbasis pada energi fosil," pungkas Leonard.

Baca juga: Indonesia kedepankan diplomasi perdagangan untuk sektor sawit
Baca juga: Indonesia siap hadapi kebijakan Uni Eropa terkait sawit
Baca juga: Balittri kembangkan buah kemiri sunan jadi biodiesel



 

Pewarta: Febrianto Budi Anggoro
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019