oleh Arnaz Firman 

Jakarta (ANTARA News) - Sekitar 192,8 juta calon pemilih pada tanggal 17 April 2019 akan mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) di sekitar tempat tinggalnya untuk mencoblos gambar calon presiden dan wakil presiden serta anggota DPD RI, DPR RI serta DPRD tingkat provinsi, kota serta kabupaten.

Akan tetapi masih terdapat sejumlah persoalan yang bisa menghambat jalannya pemungutan suara, mulai dari rusaknya surat suara dan berkurangnya jumlah surat yang harus tersedia, hingga adanya calon anggota legislatif yang ditangkap polisi karena diduga terlibat kejahatan.

Selain itu, banyak calon pemilih yang masih menghadapi kesulitan untuk memilih calon anggota legislatifnya karena nama-nama yang dicalonkan partai politik tidak akrab di hati mereka.

Hal itu terjadi antara lain karena banyak calon wakil rakyat itu yang baru pertama kalinya masuk ke dunia politik sehingga menjadi asing bagi pemilih.

Presiden Joko Widodo dalam berbagai kesempatan, misalnya, meminta seluruh calon pemilih untuk berbondong-bondong mendatangi tempat pemungutan suara (TPS) yang telah ditentukan panitia pemilihan daerah setempat guna melakukan pencoblosan.

Joko Widodo mengingatkan bahwa sekalipun terdapat perbedaan pandangan, sikap politik dan lain-lain diharapkan semua calon pemilih tanpa kecuali tetap menyalurkan hak suara mereka.

Karena Kepala Negara meminta semua calon pemilih untuk ramai-ramai mendatangi TPS maka tentu dia menyadari ada satu golongan yang tak berniat sedikitpun juga untuk mencoblos yang lazim disebut golongan putih alias golput.

Sejak zaman Orde Baru, kelompok golput ini sudah ada terutama yang berasal dari kelompok mahasiswa dan tokoh pemuda yang biasanya sangat kritis dalam memandang persoalan politik.

Kalau cuma beberapa ratus atau ribuan mmahasiswa dan pemuda yang berniat "bergolput ria" maka mungkin tak bakal muncul persoalan.

Namun masalahnya, seperti yang dikatakan pengamat politik, Jayadi Hanan, ia memperkirakan jumlah golput ini hampir sekitar dua hingga tiga persen dari total pemilih.

Kalau dugaan Jayadi Hanan itu benar maka kalau dua persen saja sengaja tak mendatangi TPS maka jumlah itu bisa saja mencapai kurang lebih 3,8 juta orang.

Tetapi pengamat politik ini juga mengingatkan bahwa banyak orang yang bisa saja tak memilih karena berbagai faktor misalnya pada 17 April itu tak berada di sekitar TPS yang bersangkutan karena sedang berada di luar kota atau sebab-sebab lainnya.


Bagaimana memecahkannya?

Kelompok golput ini pada setiap pemilu pasti ada dan jumlahnya pun tak sedikit sehingga kasus ini harus dipecahkan secara struktural agar tak merugikan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Kalau ada seorang tokoh secara sadar sengaja tak mencoblos calon presiden dan atau calon anggota legislatif maka pertanyaan mendasarnya adalah apakah dia masih berhak bertanya atau menuntut kepada pejabat atau legislator yang terpilih ketika mereka sudah menjabat?

Logika sederhananya adalah sang pemilih itu seharusnya tak berhak mengajukan tuntutan apa pun juga karena dia dengan sengaja dan sadar tidak menggunakan hak pilihnya.

Selama lima tahun mendatang itu, sang pemilih yang tak mencoblos itu seharusnya siap untuk tutup mulut  saja terhadap segala tindakan presiden dan wakil presiden serta jajaran pemerintahan yang lainnya. Dia juga tak boleh menuntut anggota DPD, DPR, serta DPRD tingkat provinsi, kota serta kabupaten.

Warga negara semacam ini rasanya harus menerima semua keputusan pemerintah dan atau lembaga legislatif yang tak dipilihnya. Akan tetapi persoalan yang berikutnya adalah apakah kasus ini sudah selesai?.

Rasanya belum, karena tugas pemerintah terutama Kementerian Dalam Negeri, Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) dan juga 16 partai politik alias parpol di tingkat pusat dan empat parpol khusus di Provinsi Aceh adalah meyakinkan atau bahkan menambah keyakinan 192,8 juta calon pemilih untuk mendatangi TPS yang telah ditentukan tanpa kecuali, guna memanfaatkan hak politik mereka.

Yakinkan semua calon pemilih bahwa kalaupun ada satu atau dua calon anggota legislatif yang tak berkenan di hati mereka dan juga apabila calon presiden dan wakil presiden yang kurang berkenan di hati mereka maka tetaplah datang ke TPS pada waktu yang telah ditentukan.

Karena kalau yang dicoblosnya itu kemudian terpilih namun keputusan atau tindakannya tak bisa diterimanya maka sang pemilih itu tetap mempunyai hak menuntut mereka.

Pada Minggu, 17 Februari 2019, calon presiden nomor urut 01 Joko Widodo dan calon dengan nomor urut 02 akan melakukan debat publik yang kedua kalinya yang berlangsung di Jakarta.

Tema utama debat kedua ini terutama menyangkut masalah ekonomi, infrastruktur serta energi. Karena itu, semua calon pemilih sebaiknya mengikuti debat calon presiden ini sebaik mungkin.

Kalau misi dan visi Joko Widodo dan Prabowo Subianto ternyata tak bisa diterima oleh para pemilih tersebut dan janji-janjinya dinilai tidak masuk akal, maka pilihlah satu di antara yang terburuk di antara kedua orang itu.

Lebih dari 100 juta pemilih itu sebaiknya tetap sadar bahwa pemilihan umum baik pilpres maupun pemilihan legislatif hanya akan berlangsung setiap lima tahun dan bukannya setiap bulan.

Jadi manfaatkanlah kesempatan emas ini untuk memilih presiden- wakil presiden yang paling cocok di hati pemilih dan juga anggota DPD, DPR, serta DPRD provinsi, kota serta kabupaten.

Sementara itu, khusus untuk Jokowi dan Prabowo, tentu calon pemilih dan seluruh rakyat Indonesia berhak berpendapat agar dalam debat mendatang tersebut keduanya, yang tak didampingi Ma`ruf Amin dan Sandiaga Salahuddin Uno, tidak saling menyerang apalagi yang bersifat pribadi tapi benar-benar memperlihatkan kehebatan dan keampuhan visi dan misi mereka.


Baca juga: Pengamat: Debat capres sebaiknya hindari serangan personal
Baca juga: Capres perlu kemukakan skema kebijakan konkret
 

Pewarta: -
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2019