Jakarta (ANTARA News) - Ronda digital perlu digalakkan karena dinilai sebagai solusi cerdas untuk memerangi berita bohong (hoaks) dan narasi kebencian di media sosial.

“Itu (ronda digital) ide yang bagus dan terobosan luar biasa. Dengan ronda digital ada semacam sistem keamanan lingkungan (siskamling) atau apa pun namanya di dunia digital. Jadi masyarakat bisa berdialog ketika menemukan konten apakah itu hoaks atau narasi kebencian,” kata Dr Emrus Sihombing, Direktur Eksekutif EmrusCorner, di Jakarta, Jumat.

Dengan ronda digital masyarakat diajak untuk aktif melakukan komunikasi dan memahami budaya saring sebelum sharing saat berselancar di dunia digital.

Mereka juga bisa memilah dan memilih mana berita yang bisa disebarkan dan mana yang tidak produktif. Selain itu, mereka juga bisa saling melaporkan ke pihak berwenang seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika bila menemukan konten hoaks dan narasi kebencian.

Selain itu, dengan adanya ronda digital, masyarakat juga bisa saling mengingatkan kepada pemegang akun medsos yang menyebarkan kontek tidak produktif, bahwa tindakan komunikasi seperti itu tidak sesuai dengan nilai-nilai kebersamaan.

“Saya rasa ronda digital sangat efektif untuk mereduksi hoaks dan narasi kebencian di medsos. Masyarakat bisa memperbincangkan sesuatu yang baik untuk kebersamaan, juga bisa mengkritisi bila menemukan hoaks atau narasi kebencian yang tujuannya ingin memecah belah,” jelas Emrus.

Ronda digital, lanjut Emrus, bisa dilakukan melalui komunitas, misal komunitas profesi, hobi, dan lain-lain. Tapi, masyarakat harus hati-hati dalam memahami konten agar itu justru jadi viral dan menguntungkan si pemilik akun.

Dosen pasca sarjana Universitas Pelita Harapan ini menggarisbawahi teori komunikasi yang dikemukakan Willy Karamoy yaitu efek pantul cermin. “Maksudnya ingin meredam atau menolak, tetapi karena salah desain pesannya justru mengangkat dan menyebarkan konten tersebut."

Menurut Emrus, ada aktor yang sengaja menghembuskan hoaks dan narasi kebencian yang bertujuan untuk menimbulkan gesekan sosial pada masyarakat lapisan bawah. Tindakan seperti itu merupakan kejahatan komunikasi.
 
“Hoaks dan narasi kebencian disebarkan dengan tujuan politik tertentu. Itu jelas bisa menggangu ketenangan dan kebersamaan dan persaudaraan sesama bangsa Indonesia,” katanya.

Dalam dunia politik, ada politisi politikus dan politisi negarawan. Politisi politikus menghalalkan segala cara untuk memperoleh kekuasaan yang sifatnya transaksional dan pragmatis serta tidak punya visi kebangsaan.

Sementara politisi negarawan berbasis kepada kepentingan bangsa dan negara dan untuk kepentingan rakyat. “Celakanya banyak politisi kita  yang politisi politikus," tegas Emrus.

Dengan maraknya hoaks dan narasi kebencian jelang Pilpres 2019, Emrus menyarankan literasi media harus intensif dilakukan, baik oleh Kemkominfo sebagai leading sector, KPU, dan Bawaslu, maupun lembaga keagamaan di Indonesia.

Pewarta: Sigit Pinardi
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2019