Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan bahwa frasa "citra diri" yang tertuang dalam Pasal 1 angka 35 UU 7/2017 (UU Pemilu) diadopsi untuk mengatasi kelemahan regulasi Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden sebelumnya.

"Apabila frasa 'dan atau citra diri' dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 maka kelemahan yang terdapat dalam regulasi pemilu sebelumnya tidak akan dapat diatasi," ujar Hakim Konstitusi Saldi Isra membacakan pertimbangan Mahkamah di Gedung MK Jakarta, Kamis.

Selain itu, bila frasa tersebut dibatalkan, Mahkamah menilai hal itu akan mengembalikan proses kampanye pemilu seperti keadaan sebelumnya, di mana kampanye pemilu tidak dapat diawasi secara maksimal. 

"Sehingga pengalaman pelaksanaan kampanye di bawah UU 8/2012 maupun UU 42/2008 akan sangat pontensial terulang kembali," tambah Saldi.

Mahkamah menjelaskan bahwa kampanye yang menampilkan citra diri calon atau pasangan calon tanpa mencantumkan visi, misi, atau programnya, dapat terhindar dari pengawasan penyelenggara Pemilu. 

Oleh karena itu Mahkamah menegaskan upaya memperbaiki kualitas penyelenggaraan pemilu melalui pembaharuan rumusan definisi kampanye dalam UU Pemilu merupakan suatu kebutuhan sehingga tidak ada lagi celah hukum yang dapat digunakan untuk menghindar dari pengawasan pelanggaran pelaksanaan kampanye. 

Perkara uji materi UU Pemilu ini diajukan oleh Partai Solidaritas Indonesia (PSI) yang diwakili oleh Ketua Umum PSI Grace Natalie Louisa dan Sekretaris Jenderal PSI Raja Juli Antoni.

Pemohon menilai frasa "dan atau citra diri" dalam Pasal 1 angka 35 UU Pemilu memiliki rumusan yang tidak jelas, multitafsir, serta bercampur dengan makna sosialisasi dan pendidikan politik sehingga harus dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945.

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Sigit Pinardi
Copyright © ANTARA 2019