Perang `hashtag` sering terjadi di Twitter untuk berlomba tagar apa yang paling tinggi pemakaiannya
Semarang (ANTARA News) - Pakar keamanan siber Doktor Pratama mengatakan tanda pagar (tagar/hashtag) #Jokowi2Periode dan #2019GantiPresiden bisa menunjukkan kekuatan peserta Pilpres 2019 di media sosial, bahkan tagar ini berkejaran di lini massa media sosial Twitter.

"Perang `hashtag` sering terjadi di Twitter untuk berlomba tagar apa yang paling tinggi pemakaiannya, baik `reply`, `mention`, `like`, dan bentuk lain dari percakapan di Twitter," kata Pratama kepada Antara di Semarang, Jateng, Senin malam.

Pratama mengemukakan hal itu ketika menjawab pertanyaan mengenai tagar #10yearschallenge yang tidak terkait dengan "brand" tertentu dan kegiatan politik tertentu. Hal ini berbeda dengan tagar yang belakangan ramai di media sosial menjelang pemilu serentak, 17 April 2019.

Ia mengatakan bahwa tagar memang menjadi salah satu pintu masuk dari pengumpulan data. Bahkan, media sosial yang ada menjadikan tagar untuk melakukan "mapping" (pemetaan) data sekaligus riset yang bisa dijual sebagai salah satu "core" bisnis mereka.

Namun, lanjut dia, ada syarat bagaimana tagar itu berguna dalam "big data", yaitu tagar tentang apa dan bagaimana serta siapa targetnya.

Dalam tagar #10yearschallenge, menurut Pratama, targetnya tidak pada kelompok dan wilayah tertentu. Tagar ini secara global digunakan sebagai ajang "iseng" saja oleh warganet seluruh dunia.

Dalam kasus #10yearschallenge, katanya lagi, tagar tersebut banyak di-"posting" di Facebook dan Instagram. Keberadaan tagar yang sangat global dan umum, atau tidak menyasar pada produk maupun pilihan politik tertentu, cenderung sulit untuk dimanfaatkan lebih lanjut.

"Bisa dikatakan `hashtag` #10yearschallenge hanya menjadi semacam gaya hidup," ucap Pratama yang juga Ketua Lembaga Riset Keamanan Siber dan Komunikasi (Communication and Information System Security Research Center/CISSReC).

Menurut dia, berbeda dengan tagar #SayaIndonesia #SayaPancasila pada tahun 2017. Tagar ini dianggap sebagai kepanjangan pemerintah sehingga akan dibaca berapa banyak yang mendukung pemerintah lewat tagar tersebut.

"Akhirnya, ditarik datanya dan bisa dibaca sebagai data preferensi politik meski isu Pancasila sebenarnya universal untuk seluruh warga Indonesia," tutur pria kelahiran Cepu, Kabupaten Blora, Jawa Tengah ini.

Baca juga: Pakar: Perang kata-kata dan tagar bisa picu perpecahan

Baca juga: Pengamat nilai kampanye medsos jadi tugas berat Bawaslu

Baca juga: LSI: Elektabilitas Jokowi unggul pada pengguna medsos

 

Pewarta: Kliwon
Editor: Junaydi Suswanto
Copyright © ANTARA 2019