Belajar sejarah sejatinya bukan belajar fakta-fakta untuk dihafal. Tapi menangkap makna kejadian masa lalu,
Jakarta (ANTARA News) - Melakukan perubahan drastis dalam kebiasaan mengajar di kelas yang sudah berlangsung bertahun-tahun tampaknya bukan pekerjaan yang mudah.

Setidaknya itulah yang terjadi di ruang-ruang kelas saat pelajaran sejarah disampaikan oleh guru kepada siswa.

Menyampaikan peristiwa masa lalu kepada siswa dengan mengikuti garis-garis besar pedoman pembelajaran atau silabus dalam mata pelajaran sejarah adalah kelaziman yang dilakukan sebagian besar guru sejarah.

Kelaziman semacam itu diakui oleh dosen program studi pendidikan sejarah Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Abrar. Akibat dari situasi itu adalah kurangnya guru-guru sejarah dalam berkreasi dan berinovasi dalam menyampaikan pelajaran sejarah di sekolah.

Tentu di zaman serba digital saat ini, kondisi semacam itu sudah semestinya ditinggalkan. Sudah waktunya guru-guru mulai berinovasi dengan mengajar secara menarik, misalnya dengan memutar film-film sejarah yang kini semakin banyak dan bisa diakses dalam berbagai format digital.

Belajar sejarah sejatinya bukan belajar fakta-fakta untuk dihafal. Tapi menangkap makna kejadian masa lalu, memahami mengapa peristiwa itu terjadi, variabel apa saja yang mendorong sebuah peristiwa lahir dan memikirkan kemungkinan menarik manfaat dari peristiwa itu untuk bahan pengambilan keputusan atas persoalan kontemporer.

Itu sebabnya ada slogan yang berbunyi: jangan sekali-kali melupakan sejarah agar tak mengulangi kesalahan masa lampau, yang melahirkan tragedi tentunya.

Seorang siswa yang belajar sejarah perjuangan Raden Ajeng Kartini pada dasarnya tak perlu menghafal kapan perempuan emansipatoris itu lahir dan siapa orang tua dan apa hasil perjuangannya.

Lebih dari itu, siswa didorong untuk mengenali situasi yang membingkai kehidupan Kartini dan reaksi yang diperlihatkan Kartini atas situasi sosial yang melingkupinya itu.

Persentuhan intelektual Kartini dengan ide-ide modernisme lewat persahabatannya dengan nyonya-nyonya kolonialis lah yang membuat Kartini melek dan bereaksi atas feodalisme di lingkungannya.

Andai Kartini tak berkenalan dengan para perempuan yang sudah tercerahkan di paroh pertama abad 20 itu, dan berkesempatan membaca buku-buku dari sahabatnya, tak banyak arti hidup Kartini bagi publik, sebagaimana hidup kebanyakan perempuan Jawa masa itu.

Pemahaman terhadap sejarah tentu akan lebih intens dan komprehensif jika hal itu disampaikan lewat medium yang artistik dan sarat pengetahuan sebagaimana disajikan dalam film R.A. Kartini dengan sutradara Sjumandjaja.

Guru yang inovatif bisa saja mengajak siswanya mendiskusikan setelah menonton bersama film itu di kelas. Diskusi bisa diperdalam misalnya dengan mengundang pakar sejarah, atau menghadirkan mahasiswa jurusan program studi sejarah.

Cara lain agar guru dapat menghadirkan kisah sejarah yang menarik di hadapan siswa adalah dengan menggunakan teks drama, cerpen, novel yang bermuatan nilai-nilai kesejarahan sebagai bahan ajar.

Dalam konteks ini, penggunaan naskah drama bertajuk Amangkurat karangan Goenawan Mohamad, bisa digunakan untuk memperkaya rujukan ketika siswa memasuki periode sejarah Mataram.

Mengajar sejarah untuk periode kerajaan Mataram di Jawa dengan mendasarkan pada karya fiksi tentu menimbulkan perdebatan, dan memunculkan pertanyaan polemik apakah karya fiksi itu dapat dipercaya sebagai sumber sejarah.

Sejarawan Taufik Abdullah pernah mengatakan bahwa novel sejarah bukanlah dokumen sejarah namun bisa memberikan tawaran makna atas peristiwa historis.

Dengan demikian jika pelajaran sejarah juga digunakan sebagai studi untuk menemukan makna peristiwa sejarah, tak ada buruknya memanfaatkan karya-karya fiksi itu sebagai khazanah literatur yang memperkaya perspektif siswa.

Yang menjadi persoalan dalam menyampaikan pelajaran sejarah secara menarik adalah faktor guru dan keterbatasan jam belajar.

Keluhan klasik dalam pengajaran di sekolah adalah beban kerja guru yang masif, yang umumnya setiap guru harus mengajar beberapa kelas berbeda, sehingga jika ditotal bisa menangani seratusan siswa.

Rata-rata guru tak punya banyak waktu untuk memperkaya bacaan mereka dan hanya terpaku pada buku teks dengan satuan pengajaran yang sudah digariskan oleh silabus pendidikan.

Bagaimana mungkin guru sejarah bisa memperkaya bacaannya dengan menyimak buku-buku bermuatan sejarah atau tokoh historis jika waktunya habis untuk memeriksa hasil pekerjaan rumah atau ujian siswa yang mencapai ratusan siswa itu?

Sebetulnya, jika punya komitmen kuat untuk mengajar secara menarik, kendala kurangnya waktu untuk memperkaya bacaan itu bisa diatasi.

Bukankah guru punya waktu libur panjang saat siswa juga libur panjang? Nah di saat libur panjang, lazimnya setelah masa kenaikan kelas, itulah guru bisa menggunakan waktunya untuk membaca teks-teks sejarah yang ditulis secara populer seperti buku-buku biografi.

Beberapa buku bermuatan sejarah antara lain: buku-buku memoar tokoh pahlawan nasional Sudirman, Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir yang banyak dijual di toko-toko buku saat ini.

Berbeda dengan buku-buku pelajaran sejarah yang penyajiannya kurang naratif dan menarik, memoar tokoh sejarah itu ditulis dengan mengutamakan gaya bercerita yang menarik. Dari sinilah guru-guru sejarah bisa memiliki rujukan yang tak sekadar berupa buku paket pelajaran sejarah.

Dalam mengajar sejarah di hadapan siswa sekolah dasar, menengah pertama dan atas, guru perlu sekali-kali bergaya seperti aktor teater ketika sedang berkisah tentang tokoh historis tertentu. Ini perlu untuk memikat siswa. Hanya dengan demikian guru tak mengajar dengan cara yang membosankan.

Baca juga: Presiden: Sejarah catat peran santri perjuangkan kemerdekaan
Baca juga: Sejarawan ungkap efek kolonialisme-feodalisme di Nusantara
 

Pewarta: Mulyo Sunyoto
Editor: Dewanti Lestari
Copyright © ANTARA 2018