Jangan cepat puas dengan capaian surplus neraca dagang bulan September ini
Jakarta (ANTARA News) - Ekonom Universitas Indonesia Berly Martawardaya meminta pemerintah perlu terus meningkatkan surplus neraca perdagangan untuk mengurangi tekanan terhadap mata uang rupiah.

Menurut dia, di Jakarta, Senin, berdasarkan pengumuman Badan Pusat Statistik (BPS), Senin, neraca perdagangan pada September 2018 menunjukkan surplus sebesar 227 juta dolar AS.

"Walaupun surplus tersebut menggembirakan dan mengurangi tekanan ke rupiah, tapi proporsi surplus hanya 1,5 persen dari total ekspor September 2018," katanya.

Direktur Program Institute for Development of Economics and Finance (Indef) itu juga mengingatkan neraca dagang periode Januari-September 2018, masih mengalami defisit 3,79 miliar dolar AS.

Berly melanjutkan surplus pada September 2018 terjadi karena nilai impor menurun 13,3 persen yang lebih tinggi dari penurunan ekspor sebesar 6,3 persen.

Menurut dia, surplus terjadi bukan karena peningkatan ekspor yang lebih tinggi dari peningkatan impor.

"Jadi, jangan cepat puas dengan capaian surplus neraca dagang bulan September ini," katanya.

Kalau ditelaah, tambahnya, dibandingkan Agustus 2018, maka semua sektor perdagangan internasional pada September 2018 mengalami penurunan.

Ekspor migas mengalami penurunan 12,8 persen, ekspor nonmigas turun 5,6 persen, impor migas turun 25,2 persen, dan impor nonmigas turun 10,7 persen.

"Penurunan impor mesin dan listrik sebesar 405,5 juta dolar AS itu menunjukkan berkurangnya impor bahan modal atau baku yang produktif," katanya.

Berly juga mengatakan neraca nonmigas pada September 2018 memang surplus 1,3 miliar dolar AS, tapi neraca migas masih defisit 1,07 miliar, meski lebih kecil dibandingkan Agustus 2018 yang defisit 1,55 miliar dolar AS.

Untuk memperbaiki surplus neraca dagang, khususnya migas, menurut dia, maka dalam jangka panjang di tengah periode kenaikan harga minyak dunia, dibutuhkan upaya sistematis dan konsisten pemerintah.

Dari segi suplai, lanjutnya, iklim usaha dan tata niaga migas perlu diperbaiki untuk mendorong investasi dan eksplorasi migas.

"Sementara, dari segi demand, dicoretnya anggaran trem di Surabaya, derasnya investasi pabrik mobil berbahan bakar fosil, dan belum jelasnya kebijakan mobil listrik,  menjadi sinyal dan ekspektasi, akan terus meningkatnya konsumsi BBM dan impor migas Indonesia di masa mendatang, sehingga untuk menjaga nilai tukar rupiah, akan bergantung pada masuknya capital inflow," ujar Berly.

Baca juga: Neraca perdagangan September 2018 surplus 0,23 miliar dolar
 

Pewarta: Kelik Dewanto
Editor: Subagyo
Copyright © ANTARA 2018