Jakarta (ANTARA News) - Presiden INADATA Consulting Elwin Tobing mengatakan Pancasila harus dijadikan navigasi dan alat pemersatu untuk mengatasi pemersalahan dan tantangan bangsa.

Elwin Tobing dalam launching bukunya yang berjudul Indonesia Dream: Revitalisasi dan Realisasi Pancasila Sebagai Cita-Cita Bangsa di Perpustakan Nasional, Jakarta, Senin, mengatakan Indonesia saat ini seperti kehilangan arah karena bertahun-tahun dikungkung tantangan yang kompleks dan bahkan tidak pernah terpecahkan.

Dia mebyebutkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme yang bertransformasi menjadi budaya, serta tendensi eksploitasi politik identitas, dan munculnya berbagai aksi teror yang dilakukan kelompok terror pun marak terjadi.

“Sulitnya Indonesia mengatasi masalah itu karena kita melihat Pancasila secara parsial, tidak utuh. Pancasila kini hanya dimaknai pasal per pasal,” katanya dalam keterangan yang diterima.

Elwin menilai demokrasi hanya dilihat dalam sila ke-empat Pancasila sebagai dasar perjuangan dan sila ke-tiga hanya dilihat sebagai pendukung terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia. 

Dan yang ingin memperjuangkan Indonesia berdasarkan agama hanya menatap sila pertama sebagai pedoman, katanya.

Bahkan mirisnya, kata Elwin, Pancasila sekarang hanya dijadikan “wasit” dalam pertarungan kelompok yang mau menjadikan Indonesia negara agama dengan kelompok yang mau mempertahankan persatuan Indonesia.

Indonesia menjadi terbelah, dimana satu pihak menawarkan jargon politik identitas dan pihak lain menggunakan slogan nasionalisme. 

Akhirnya, Pancasila menjadi statis, terisolasi dan tidak menyentuh pribadi manusia Indonesia.

“Itu karena kita melihat Pancasila sebagai dasar negara dan terlalu sibuk mengurus tatanan negara. Pancasila kurang menyentuh secara personal,” kata Elwin.

Untuk itu, kata profesor dari Universitas Azusa Pacific, Amerika Serikat itu menegaskan permasalahan tersebut dapat diatasi jika rakyat Indonesia menjadikan Pancasila sebagai navigasi dalam memahami, memaknai dan menjiwai kehidupan sebagai warga negara Indonesia.

“Tujuan dari buku ini adalah untuk memberikan rasa tujuan kepada sesama Indonesia, yakni seperti apa artinya menjadi seorang Indonesia, dan apa yang perlu kita lakukan untuk memajukan manusia dan bangsa kita,” kata Elwin yang pada 2009 menulis buku berjudul “The Indonesian Dream: The Persuit of a Winning Nation”.

“Yang benar-benar membuat kita sebagai suatu bangsa adalah persamaan nasib, adanya tujuan bersama yang telah jelas digariskan oleh Bapak Pendiri Bangsa di dalam Pancasila, serta adanya rasa kebersamaan untuk mencapai tujuan tersebut. Itulah esensi Indonesian Dream!” tambah Elwin.

 
Tiga Modal Indonesian Dream

Menurut Elwin, Indonesian Dream dapat diwujudkan dengan tiga modal, yaitu modal spiritual, modal sosial dan modal manusia.

Modal spiritual adalah kapasitas individu dan kolektif yang dihasilkan melalui penegasan dan pemeliharaan nilai-nilai spiritual dalam diri setiap rakyat Indoneisa. 

Lalu modal sosial adalah interaksi manusia yang dilandaskan atas adanya kepercayaan satu sama lain yang mendorong pemajuan demokrasi, kesejahteraan sosial ekonomi hingga pembangunan yang berkelanjutan.

“Ketiga adalah modal manusia yakni mentalitas, moralitas dan intelektualitas. Manusia yang bermental kuat, bermoral baik dan berpengetahuan sehingga dapat mengatasi permasalahan bangsa secara kreatif dan efektif di tengah persaingan global yang semakin ketat dan kompleks,” ujarnya.

Andrinof Chaniago mengatakan Indonesia belum memiliki ekstraksi kuat dalam merealisasikan mimpi yang mengakomodir seluruh kepentingan bangsa untuk mencapai tujuan bersama.

“Indonesia itu majemuk dan luas, namun apa yang akan kita lakukan agar Indonesia dapat menyajikan pembangunan berkualitas di segala bidang? Buku ini sangat komprehensif dan membeirkan pekerjaan rumah yaitu bagaimana membuat ekstraksi yang menjadi final atau mendekati final untuk pembangunan yang terarah,” tegas Adrinof.

Sementara itu, Mantan Utusan Khusus Presiden bidang Penanggulangan Kemiskinan HS Dillon menjelaskan, masalah utama Indonesia adalah karena rakyat Indonesia tidak bersungguh-sungguh mewujudkan identitas bersama dan melakukan pembangunan yang kolektif. Pembangunan ekonomi hanya terfokus pada kekuasaan dan kepentingan kelompok tertentu.

“Indonesia saat ini masih kolonial dan feudal. Tidak sungguh-sungguh dalam pembangunan Repubik ini. Kedzaliman paling besar adalah center of excellency di Jawa. Sekarang sudah ada 24 center of excellence di Jakarta dan 18 di luar Jawa,” kata Dillon.

Indonesian Dream telah digagas sejak dua dekade silam saat zaman reformasi tepatnya ketika Indonesia sedang menghadapi krisis sosial, ekonomi, politik dan identitas. 
Krisis saat itu mendorong Elwin mendirikan Indonesian Institute pada 2002 di Amerika Serikat dengan tujuan untuk mengkampanyekan nilai-nilai Pancasila sebagai cita-cita ke seluruh Masyarakat Indonesia.

Pewarta: Joko Susilo
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2018