Jakarta (ANTARA News) - Ketua Umum Partai Persatuan Indonesia (Perindo) Hary Tanoesoedibjo dan Sekretaris Jenderal Perindo Ahmad Rofiq selaku pemohon pengujian Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) memperbaiki permohonannya pada Senin di Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta.

Permohonan yang teregistrasi dengan Nomor 60/PUU-XVI/2018 mencakup permohonan pengujian Pasal 169 huruf n UU Pemilu terhadap Pasal 7 UUD 1945 terkait masa jabatan presiden dan wakil presiden terutama frasa "belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan, baik berturut-turut maupun tidak berturut-turut, walaupun masa jabatan tersebut kurang dari tahun".

"Ada beberapa hal yang kami perbaiki sesuai dengan saran Majelis Hakim pada sidang perbaikan kemarin," kata kuasa hukum Perindo, Christoforus Taufiq.

Perbaikan permohonan meliputi penjelasan mengenai kedudukan hukum para pemohon, dalam hal ini bahwa pemohon adalah peserta Pemilu 2019 dengan nomor urut 9 berdasarkan keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU).

"Dengan ini mencalonkan Bapak Joko Widodo dan Bapak Jusuf Kalla sebagai pasangan calon presiden dan calon wakil presiden pada Pemilu 2019 yang akan diusulkan oleh Perindo, namun terkendala dengan adanya pasal a quo," jelas Taufiq.

Dalam perbaikan permohonannya, pemohon juga menyatakan telah mencantumkan beberapa perdebatan terkait frasa a quo yang dipaparkan oleh beberapa ahli dalam pengujian pasal serupa yang sebelumnya sudah diputus oleh Mahkamah.

Selain itu pemohon mengubah petitum permohonanya menjadi meminta Mahkamah menyatakan penjelasan Pasal 169 huruf n bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mengikat selama frasa "dua kali berturut-turut".

Dalam sidang pendahuluan, pemohon mendalilkan bahwa proses pengajuan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sebagai satu pasangan calon presiden dan wakil presiden terkendala dengan adanya frasa a quo karena Wakil Presiden Jusuf Kalla juga menjabat sebagai wakil presiden pada masa Presiden Susilo Bambang Yudhoyono sejak 2004 hingga 2009.

Baca juga: KPU tafsirkan JK sudah dua periode

Pemohon berpendapat frasa tersebut menjadi tidak relevan bila ditafsirkan bahwa pemilihan presiden dan wakil presiden secara langsung dibatasi oleh masa jabatan presiden dan wakil presiden untuk menjabat dalam jabatan yang selama dua kali masa jabatan, baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut.

Dalam dalilnya pemohon menyebutkan seharusnya instrumen hukum perundang-undangan tidak boleh membatasi terlebih mengamputasi hak seseorang untuk dapat menjadi presiden dan wakil presiden meskipun telah menjabat sebagai presiden dan wakil presiden dua kali masa jabatan yang sama sepanjang tidak berturut-turut.

Pemohon berpendapat Pasal 169 huruf n UU Pemilu sama sekali tidak memberikan batasan bahkan mempersempit persyaratan calon presiden dan calon wakil presiden dengan mencantumkan frasa "tidak berturut-turut".

Berdasarakan uraian tersebut, pemohon menilai penjelasan Pasal 169 huruf n UU Pemilu seharusnya dimaknai belum pernah menjabat dalam jabatan yang sama selama dua kali masa jabatan berturut-turut walaupun masa jabatan tersebut kurang dari 5 tahun.

Oleh sebab itu pemohon meminta Mahkamah menyatakan frasa "tidak berturut-turut" bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat.

Baca juga:
Ambang batas pencalonan presiden di UU Pemilu digugat lagi
Perindo jelaskan alasan uji materi UU Pemilu


 

Pewarta: Maria Rosari Dwi Putri
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2018