Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah atau Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN) diminta menjelaskan soal perubahan struktur direksi PT Pertamina (Persero) yang memunculkan kesan adanya kejanggalan dalam kebijakan tersebut.

"Secara RUPS, tentu saja Kementerian BUMN yang bertanggung jawab. Panggil saja Menteri BUMN," kata Direktur Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa dalam keterangan tertulis di Jakarta, Senin.

Fabby mengatakan banyak yang perlu dijelaskan dalam perubahan nomenklatur direksi yang diputuskan melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) pertengahan Februari 2018 lalu. Bukan hanya soal penghapusan posisi Direktur Gas. Namun, juga adanya dua jabatan baru yaitu Direktur Pemasaran Retail serta Direktur Logistik, Supply Chain, Infrastruktur.

Keanehan pertama, menurut dia, soal waktu. Saat ini Pertamina sedang dalam proses holding BUMN Migas. Pada RUPS sebelumnya menegaskan rencana holding, namun pada RUPS berikutnya justru terjadi perombakan direksi.

"Serius tidak dengan holdingisasi tersebut? Kalau Pemerintah serius, seharusnya perubahan struktur bisa dilakukan setelah holding selesai. Itu lebih tepat. Kalau sekarang, apa urgensinya," lanjut Fabby.

Selain persoalan waktu, Fabby juga menyoroti perombakan membuat struktur direksi menjadi lebih gemuk. Namun sayangnya penambahan dua direktur baru itu justru tidak sesuai dengan bisnis migas Pertamina.

"Kalau bank memang ada pemisahan pelanggan retail dan korporat. Tetapi Pertamina itu kan bisnisnya dari hulu ke hilir, yang harusnya terintegrasi dari hulu ke hilir," kata dia.

Fabby tidak menutup kemungkinan struktur baru itu bisa mengacaukan sistem internal Pertamina yang selama ini sudah berjalan baik. Struktur yang baru, membuat Pertamina tidak terintegrasi dari hulu ke hilir dan biaya juga semakin besar, katanya.

Sementara Mantan Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia Berry Nahdian Furqon menilai penghapusan posisi direktur gas, bisa memunculkan gejolak pada industri serta ketidakpastian mengenai harga dan pasokan gas.

Imbasnya, industri bisa mengalihkan penggunaan gas kepada bahan bakar lain yang mereka anggap lebih ekonomis, seperti solar atau batubara.

Dengan alasan menekan biaya produksi, industri bisa saja kembali pada bahan bakar fosil tersebut. Padahal seperti diketahui, solar dan batubara menghasilkan emisi tinggi yang berdampak pada pemanasan global. Ini tentu berbeda dengan gas, yang jauh lebih bersih.

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2018