Jakarta (ANTARA News) - Desa Tajen, Kec. Penebel, Kab. Tabanan, Bali pada tahun ini terpilih menjadi pusat dilaksanakan gelar teknologi padi hibrida.

Siaran pers Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Kementerian Pertanian menyebutkan, gelar teknologi tersebut merupakan salah satu dari rangkaian kegiatan The International Hybrid Rice Symposium yang rencananya akan diselenggarakan di Yogyakarta  pada Februari  2018.

Kajian teknologi padi hibrida dengan pendekatan “Small Farmer, Large Field”  (SMLF)  yang prinsipnya adalah petani dengan kepemilikan lahan yang kecil dikelola secara bersama (kelompok tani) dengan varietas yang sama dan system budi daya yang sama sehingga dapat meningkatkan hasil pendapatan petani.

Gelar teknologi seluas lima puluh hektar melalui pendekatan SMLF ini menampilkan dua belas varietas hibrida produk Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Kementerian Pertanian maupun varietas hibrida dari mitra swasta yang ada di Indonesia.

Desa yang  berada di ketinggian ±300-400 mdpl tersebut merupakan salah satu lumbung padi selain kabupaten-kabupaten lain di pulau Bali. Budaya agraris sangat kental di pulau yang terkenal dengan sebutan pulau dewata ini.

Wisatawan asing yang datang membawa budaya mereka masing-masing namun adat istiadat, nilai-nilai budayanya tetap bisa dipertahankan.

Keterkaitan antara tradisi masyarakat Bali dengan lingkungan masyarakat berbudaya memberikan nuansa tersendiri dan berbeda dengan daerah lain. Lingkungan tersebut terbentuk dalam sebuah wujud budaya dan perilaku telah diwariskan turun temurun.

Tatanan perilaku menjadi sebuah warisan dalam kehidupan sehari-hari yang bertahan hingga saat ini. Sebgai contoh salah satunya adalah sistem pertanian subak yaitu sistem pengairan (irigasi) yang telah melembaga selama beberapa abad. Subak bagi masyarakat Bali tidak hanya sekedar sistem irigasi, tetapi juga merupakan konsep kehidupan bagi rakyat Bali itu sendiri.

Pembagian air dilakukan secara adil dan merata, segala masalah dibicarakan dan dipecahkan bersama, bahkan penetapan waktu menanam dan penentuan jenis padi yang ditanam pun dilakukan bersama.

Sanksi terhadap berbagai bentuk pelanggaran akan ditentukan sendiri oleh warga melalui upacara atau ritual yang dilaksanakan di pura. Harmonisasi kehidupan seperti inilah yang menjadi kunci utama lestarinya budaya Subak di pulau dewata.

Adanya program dari Kementerian Pertanian pada gelar teknologi padi hibrida yang digelarkan di Desa Tajen tidak bermaksud menggeser tatanan masyarakat petani setempat untuk meninggalkan budayanya. Teknologi budidaya dan penggunaan varietas unggul hadir semata-mata untuk meningkatkan produksi padi dan kesejahteraan petani tanpa meninggalkan budaya setempat.

Dilandasi dengan kebiasaan dan perilaku petani yang familiar menamam padi hibrida setiap musimnya  mendorong keinginan Balitbangtan untuk mengenalkan varietas hibrida kepada petani dengan harapan  bisa meningkatkan produksi dan pendapatan petani. 

I Gusti Nyoman Sutirka sebagai pekaseh atau ketua kelompok tani Subak Tajen, dengan logat balinya yang kental mengatakan “beberapa musim saya tanam padi hibrida hasilnya tinggi dan ada peningkatan sekitar 2 ton dibanding tanam varietas inbrida, sehingga para petani disini tertarik untuk ikut menanam varietas hibrida yang lain, dengan harapan hasilnya tinggi”, katanya.

Display varietas hibrida yang saat ini ditanam di areal gelar teknologi berumur 90 hari dengan sistem tanam jajar legowo.

Dalam perbincangan ditempat terpisah I.G.N Sutirka menuturkan bahwa petani sudah terlanjur tertarik mananam padi hibrida sehingga walaupun harga benihnya mahal tetapi petani akan berusaha untuk membelinya” tutur bpk yang lebih akrab dipanggil Pak Pekaseh

Kepala Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Dr. Ismail Wahab dalam arahanya selalu menyampaikan agar pelaksanaan kegiatan yang bekerja sama dengan Internatioanal Rice Research Institute (IRRI), BPTP Bali, Dispertan Kab. Tabanan serta Dinas Pertanian Prov. Bali ini dapat dijadikan momen penting dalam pengembangan padi hibrida di Indonesia sekaligus bisa dijadikan media promosi kepada pengguna/petani.

Kelembagaan petani sudah teroganisir dengan baik dan setiap petani  mudah mendapatkan sarana prasarana produksi dari Koperasi yang mereka bayar setiap habis panen. Kelemahan dan keluhan petani desa ini masih menjual padinya dengan sistem tebas. 

Petani mengakui bahwa cara menjual hasil panen dengan cara tersebut petani kurang diuntungkan. Diharapkan dengan adanya gelar teknologi ada pemahaman kepada petani tentang cara meningkatkan produksi dan mengurangi kehilangan/susut hasil panen, sekaligus merubah kebiasaan petani yang awalnya jual sistem tebas, kedepan petani bisa menjual hasil gabah kering panen agar pendapatan petani lebih tinggi.

Dalam perbincangan singkat dengan Kepala Desa Tajen I Gusti Putu Sumertayasa atau yang akrab dipanggil Perbekel menghimbau kepada masyarakatnya agar petani diwilayahnya serius  dan bisa mengadopsi  teknologi sesuai dengan kondisi alam dan cocok bagi petani bersangkutan dalam usaha tani di wilayah lingkungannya. Dan kegiatan seperti itu patut didukung karena bisa mensinergikan antara pertanian muatan local dengan teknologi kekinian,” imbuh Pak Kades

Gelar teknologi dalam bentuk display varietas dan teknologi budidaya unggulan yang menjadi bagian dari kegiatan kajian SFLF akan digunakan sebagai international show window padi hibrida yang dikembangkan Balitbangtan, Kementerian Pertanian ke forum internasional. (Shr/AG)

Pewarta: System
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2017