Berlin (ANTARA News) - Kementerian Luar Negeri Jerman, Kamis, memperingatkan warganya untuk lebih berhati-hati saat bepergian ke Turki, mengutip penahanan baru-baru ini terhadap sejumlah orang.

Peringatan itu juga terkait dengan penolakan Ankara memberikan akses konsuler dalam beberapa kasus, yang melanggar hukum internasional.

"Orang-orang yang bepergian ke Turki untuk urusan pribadi atau bisnis diminta meningkatkan kewaspadaan, dan harus mendaftarkan diri pada konsulat dan kedutaan besar Jerman, bahkan untuk yang melakukan kunjungan lebih singkat," kata kementerian tersebut dalam sebuah panduan perjalanan yang direvisi.

"Situs kementerian luar negeri tidak selalu diinformasikan secara tepat waktu tentang penahanan warga negara Jerman, dan akses untuk layanan konsuler tidak selalu dapat dipastikan," tambahnya.

Sebelumnya dilaporkan, seorang warga negara Jerman, Peter Steudtner juga termasuk di antara enam pegiat hak asasi manusia yang dipenjara saat menanti persidangan atas tuduhan terorisme, yang oleh Berlin diberi label "tidak masuk akal", dalam sebuah langkah yang selanjutnya meningkatkan ketegangan antara sekutu NATO itu.

Keenam pegiat hak asasi manusia tersebut termasuk di antara 50.000 orang yang ditahan karena pengadilan yang ditangguhkan dalam upaya Turki melakukan penindakan keras pascapercobaan kudeta satu tahun lalu.

Steudtner adalah satu dari 10 pegiat termasuk seorang warga Swedia yang ditahan pada 5 Juli saat menghadiri sebuah lokakarya keamanan digital dan manajemen informasi di sebuah hotel dekat Istanbul.

Sementara itu, pada Senin (17/7) Turki memperpanjang pemerintahan dalam keadaan darurat selama tiga bulan lagi, hampir setahun setelah diberlakukan setelah kudeta militer yang gagal pada Juli lalu.

Pemerintah meminta parlemen memperpanjangnya untuk ke empat kali dan proposal tersebut disetujui oleh majelis. Partai AK yang dipimpin Presiden Tayyip Erdogan memiliki suara mayoritas di parlemen.

Perpanjangan pemerintahan darurat itu berlangsung setelah acara-acara pada akhir pekan yang diselenggaraan untuk menandai kudeta gagal yang menewaskan sekitar 250 orang, sebagian besar warga sipil yang tak bersenjata.

Sejak keadaan darurat diberlakukan pada 20 Juli tahun lalu, lebih 50.000 orang telah ditangkap dan 150.000 dipecat dalam operasi penumpasan. Para penentang Erdogan menyatakan operasi itu telah mendorong Turki ke arah pemerintahan yang otoriter.

Pemerintah menegaskan bahwa tindakan tersebut diperlukan untuk menghadapi tantangan keamanan yang dihadapi Turki dan mengikis hingga ke akar-akarnya para pendukung Fethullah Gulen, ulama yang berkedudukan di Amerika Serikat yang dikatakan berada di balik usaha kudeta itu. Gulen telah membantah keterlibatannya.

Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2017