Jakarta (ANTARA News) - Jaksa pada Jumat menuntut majelis hakim menjatuhkan hukuman delapan tahun penjara ditambah denda Rp250 juta subsider enam bulan kurungan kepada mantan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah karena terbukti terlibat korupsi dalam pengadaan alat kesehatan untuk Rumah Sakit Rujukan Provinsi Banten.

Menurut jaksa Ratu Atut telah memeras anak buahnya hingga Rp500 juta untuk biaya pelaksanaan istigasah.

"Agar majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan terdakwa Ratu Atut Chosiyah terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum melakukan tindak pidana korupsi secara bersama-sama dan berlanjut," kata ketua jaksa penuntut Komisi Pemberantasan Korupsi Budi Nugraha di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta.

Selain pidana penjara, Atut juga dituntut membayar uang pengganti Rp3,895 miliar, namun uang itu sudah dikembalikan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) saat penyidikan.

Pengembalian itu dilakukan secara bertahap pada 14 Juli 2015 sebesar Rp1 miliar ke rekening BRI atas nama KPK, uang Rp1,3 miliar sebagai barang sitaan, uang Rp559 juta sebagai barang sitaan, dan uang Rp1 miliar dikirim ke rekening BRI atas nama KPK pada 4 Agustus 2015.

"Sudah dilakukan penyitaan seluruhnya Rp3,859 miliar, sehingga terhadap uang tersebut harus dirampas untuk negara karena berasal dari perbuatan korupsi karena kaitannya dengan jabatan terdakwa sebagai Gubernur Banten," kata jaksa.

Jaksa menganggap pengembalian uang tersebut serta sikap sopan dan penyesalan terdakwa sebagai hal yang meringankan.

"Hal yang memberatkan, perbuatan terdakwa tidak mendukung pemerintah yang sedang giat-giat memberantas korupsi, terdakwa turut serta menikmati, menerima uang dan mendapat fasilitas hasil korupsi, terdakwa adalah narapidana perkara korupsi," kata jaksa Budi.

Dalam dakwaan pertama, Ratu Atut disebut bersama-sama dengan adiknya Tubagus Chaeri Wardana Chasan alias Wawan melakukan pengaturan proses pengusulan anggaran Dinas Kesehatan Provinsi Banten pada APBD 2012 dan APBD Perubahan 2012 dan pengaturan pelaksanaan anggaran pada pelelangan pengadaan alat kesehatan RS Rujukan Pemprov Banten Tahun 2012 sehingga memenangkan pihak-pihak tertentu dan mengakibatkan kerugian negara Rp79,79 miliar menurut laporan hasil pemeriksaan invstigatif BPK pada 31 Desember 2014.

Akibat perbuatan itu, Ratu Atut mendapatkan keuntungan Rp3,859 miliar, Tubagus Chaeri Wardana Chasan mendapat untung Rp50,083 miliar, Yuni Astuti mendapat Rp23,396 miliar, Djadja Buddy Suhardjo menerima Rp240 juta, Ajat Ahmad Putra menerima Rp295 juta, Rano Karno mendapat Rp700 juta, Jana Sunawati mendapat Rp134 juta, dan Yogi Adi Prabowo mendapat Rp76,5 juta.

Tindak pidana itu juga menguntungkan Tatan Supardi (Rp63 juta), Abdul Rohman (Rp60 juta), Ferga Andriyana (Rp50 juta), Eki Jaki Nuriman (Rp20 juta), Suherma (Rp15,5 juta), Aris Budiman (Rp1,5 juta), dan Sobran (Rp1 juta).

Kerugian negara juga bertambah karena ada pemberian fasilitas berlibur ke Beijing berikut uang saku senilai total Rp1,659 miliar untuk pejabat Dinas Kesehatan Banten, tim survei, panitia pengadaan, dan panitia pemeriksa hasil pekerjaan.

"Unsur menguntungkan diri sendiri dan orang lain sudah terbukti," kata jaksa.

Atut selaku Pelaksana Tugas (Plt) Gubernur Banten pada 2005 dan menjabat sebagai Gubernur definitif untuk periode 2007-2012 dan 2012-2017 selalu meminta komitmen kepada para pejabat untuk loyal kepada dia dan adiknya Wawan yang merupakan pemilik atau Komisaris Utama PT Bali Pacific Pragama (PT BPP).

Atut meminta komitmen loyalitas Kepala Dinas Kesehatan Banten Djaja Buddy Suhardja agar mendukung Atut sebagai Gubernur Banten 2007-2012 dan 2012-2017.

Djaja kemudian menandatangani surat pernyataan loyalitas pada 14 Februari 2006 di Hotel Kartika Chandra Jakarta.

Atut mengarahkan Djaja agar setiap proses pengusulan anggaran maupun pelaksanaan proyek-proyek pekerjaan pada Dinas Kesehatan Provinsi Banten dikoordinasikan dengan Wawan.

Proyek pertama yang dikerjakan Wawan adalah pengadaan alat kesehatan (alkes) RS Rujukan Pemprov Banten pada Dinas Kesehatan Provinsi Banten pada APBD 2012.

Wawan meminta agar Dinas Kesehatan Banten menyusun anggaran dengan komposisi 90 persen dalam bentuk pekerjaan kontraktual (pengadaan) dan 10 persen dalam bentuk pekerjaan non-kontraktual. Wawan juga meminta agar anggaran tidak dibuat rinci agar pemaketan dan pengerjaan pekerjaan bisa lebih fleksibel.

Calon pelaksana pekerjaan untuk sembilan paket pekerjaan pun sudah ditentukan orang kepercayaan Wawan, yaitu pemilik PT Java Medica Yuni Astuti yang sudah mempersiapkan daftar harga yang digelembungkan dengan memperhitungkan keuntungan Wawan sebesar 43,5 persen dari nilai kontrak, dan keuntungan Yuni sebesar 56,5 persen untuk paket alkes RS Rujukan.

Sedangkan untuk pengadaan alkes laboratorium dan instalasi kamar jenazah RS Rujukan disusun dengan memperhitungkan keuntungan Wawan sebesar 45 persen dari nilai kontrak, dan keuntungan Baharuddin sebesar 55 persen dari nilai kontrak.

"Dengan demikian kerugian negara mencapai Rp79,79 miliar sesuai pemeriksaan keuangan BPK, unsur merugikan keuangan negara dapat dibuktikan," ungkap jaksa Budi.

Pengadaan kedua dalam penyusunan dan pelaksanaan anggaran alkes RS Rujukan Banten dalam APBD Perubahan Tahun Anggaran 2012 dibuat empat paket pengadaan dengan Yuni mempersiapkan daftar harga yang sudah digelembungkan memperhitungkan keuntungan Wawan sebesar 56,5 persen dari nilai kontrak.

"Terdakwa dan Wawan melakukan intervensi dengan maksud agar usaha-usahanya dinyatakan sebagai pemenang lelang adalah menguntungkan terdakwa dari proses pengadaan yang tidak adil dan kolutif dengan tujuan mendapatkan keuntungan pribadi dan golongan dan merugikan negara, sehingga unsur meyalahgunakan kewenangannya sudah dapat dibuktikan," kata jaksa.

Selanjutnya dalam dakwaan kedua Atut terbukti memerintahkan Kadis Kesehatan Banten Djadja Buddy Suhardja, Kadis Perindustrian dan Perdagangan dan juga Kadis Pendidikan Banten Hudaya Latuconsina, Kadis Sumber Daya Air dan Permukiman (SDAP) Banten Iing Suwargi serta Kadis Bina Marga dan Tata Ruang Banten Sutadi untuk memberikan total Rp500 juta untuk keperluan istigasah.

Karena merasa tertekan dan takut diberhentikan oleh Atut, maka keempatnya memberikan uang Rp500 juta di rumah Atut dengan rincian Djaja sebesar Rp100 juta, Hudaya sebesar Rp150 juta, Iing sebesar Rp125 juta, dan Sutadi sebesar Rp125 juta.

Pada 10 Oktober 2013, setelah uang terkumpul, Ratu Atut memerintahkan Riza Martina dan Rendi Allanikika Pratiaksa menyerahkan uang sebesar Rp495 juta kepada ustaz Haryono di rumahnya di Bekasi, selanjutnya Haryono melakukan sembilan kali istigasah di Bekasi untuk Ratu Atut.

Jaksa menilai perbuatan terdakwa adalah perbuatan menyalahgunakan kekuasaan karena tindakan yang dilakukan oleh para ajudan terdakwa tersebut merupakan representasi dari upaya terdakwa menimbulkan perasaan sungkan dan takut bagi para saksi, antara lain Djaja Buddy Suhardja, Hudaya Latuconsina, Sutadi, dan Iing Suwargi bila tidak memenuhi kebutuhan pembiayaan istigasah lanjutan untuk kepentingan terdakwa.

Akibatnya, menurut jaksa, mereka bersedia memberikan uang meski bertentangan dengan kehendak masing-masing mengingat kekuasaan terdakwa selaku Gubernur Banten yang dapat melakukan mutasi bahkan mencopot jabatan mereka.

Atut akan mengajukan nota pembelaan atas tuntutan itu pada 6 Juli.

"Kami sudah berkoordinasi dengan klien kami, pembelaan akan dilakukan, sebagai penasihat hukum kami minta waktu 10 hari," kata pengacara Atut, TB Sukatma.

Atut saat ini sedang menjalani hukuman empat tahun penjara dalam perkara penyuapan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar dalam sengketa Pilkada Kabupaten Lebak.


Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2017