Paris (ANTARA News) - "Tak ada lagi waktu untuk mitigasi dan adaptasi, sebab pulau-pulau kami akan lenyap," kata Perdana Menteri Negara Kepulauan Tuvalu, Enele Sopoaga.

Pernyataan itu disampaikan Enele saat menjawab pertanyaan jurnalis dalam konferensi pers di Sekretariat Alliance of Small Island States (AOSIS) atau Aliansi Negara Kepulauan Kecil di arena Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) PBB tentang Perubahan Iklim (COP) ke-21 di Le Bourget, Paris, Prancis.

Enele mengatakan bahwa negaranya merupakan satu dari 39 negara-negara kepulauan kecil yang bergabung dalam AOSIS yang terdampak paling parah bila tidak ada upaya nyata mengatasi perubahan iklim.

Badai tropis atau "tropical cyclon" yang kerap melanda perairan wilayah itu telah membuat masyarakat semakin menderita. Hantaman gelombang membuat daratan pulau terus menyempit.

Sejumlah pulau yang terancam tenggelam akibat kenaikan muka air laut di wilayahnya antara lain Pulau Vaitupu, Nanumea, Nui, Nukulaelae, dan Nanumaga.

Karena itu, kata Perdana Menteri harus ada kesepakatan terikat hukum yang menjadi panduan untuk mengurangi emisi yang dihasilkan dari COP Paris.

"Kalau masyarakat kami kehilangan tanah dan pulau-pulaunya maka ini tragedi yang memalukan bagi kemanusiaan," ucapnya.

Enele menambahkan bahwa sejumlah pihak masih menyangkal bahwa bencana yang melanda wilayah kepulauan diakibatkan oleh perubahan iklim.

Para pihak, terutama negara maju lanjutnya, seringkali beralasan bahwa tidak ada bukti ilmiah bahwa bencana alam yang terjadi dikarenakan perubahan iklim.

Baca : Negara besar kini akui dampak iklim ke negara kecil

"Bagaimana mungkin mereka mengharapkan negara berkembang seperti kami memiliki sumber daya untuk membuktikan secara ilmiah, ini tidak adil," katanya.

Ia mengharapkan kesepakatan mengikat yang dibangun di Paris juga memasukkan kerugian dan kerusakan akibat bencana sebagai dampak perubahan iklim atau disebut "lost and damaged".


Perlu Aksi Nyata

Ungkapan PM Tuvalu ini mewakili suara penduduk yang tinggal di negara-negara kepulauan yang sangat rentan dan rawan (vulnerable) terhadap dampak perubahan iklim.

Tuvalu adalah negara kepulauan yang terletak di antara Hawaii dan Australia di Samudera Pasifik. Tetangga terdekat negara ini adalah Kiribata, Nauru, Samoa dan Fiji.

Dengan daratan seluas 26 kilometer persegi dan populasi penduduk mencapai 10.472 jiwa membuat negara berbentuk Monarki Konstitusional ini menjadi negara berdaulat ketiga terpadat di dunia.

Titik tertinggi di antara 114 pulau yang membentuk negara ini hanya setinggi 5 meter di atas permukaan laut.

Karena itu, Tuvalu sangat rentan terhadap perubahan iklim. Salah satu dampak perubahan iklim adalah kenaikan muka air laut yang dikhawatirkan menenggelamkan pulau-pulau di wilayah itu.

"Aksi nyata mendesak dan mari kita tegaskan dalam kesepakatan bersama karena COP Paris ini momentum yang menentukan keberlangsungan hidup manusia," katanya.

Tidak hanya negara-negara yang bergabung dalam AOSIS, 20 negara kepulauan rentan iklim yang dipimpin Filippina membentuk aliansi bernama "Climate Vulnerable Forum". Mereka menuntut target kenaikan suhu bumi dari dua derajat diturunkan menjadi satu setengah derajat.

Baca : Rachmat Witoelar: negosiator lupa ancaman perubahan iklim

Kenaikan suhu sebesar itu hanya akan menaikkan permukaan laut setinggi satu meter sehingga banyak pulau masih akan selamat.

Sementara Indonesia, meski tidak tercatat sebagai anggota AOSIS maupun "Climate Vulnerable Forum" diperkirakan akan mengalami dampak perubahan iklim khususnya bagi ribuan pulau yang membentang dari Aceh hingga Papua.

Dalam Indeks Dampak Perubahan Iklim yang dirilis lembaga dunia, Maplecroft pada Februari 2014 bahwa sekitar 1.500 pulau Indonesia diprediksi tenggelam pada 2050 akibat kenaikan permukaan air laut.

Berdasarkan hasil kajian citra satelit Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada 2002, menyatakan jumlah pulau di Indonesia adalah sebanyak 18.306 pulau.

Adapun data Kementerian Dalam Negeri berdasarkan laporan dari para gubernur dan bupati/wali kota, pada 2004 menyatakan, ada 7.870 pulau yang bernama, sedangkan 9.634 pulau tak bernama. Dari sekian banyaknya pulau-pulau di Indonesia, yang berpenghuni hanya sekitar 6.000 pulau.

Presiden Joko Widodo saat pidato di KTT Iklim Paris juga menyinggung tentang wilayah Indonesia yang memiliki 17 ribu pulau dengan 60 persen penduduk bermukim di pesisir.

Baca :  Kaum miskin terdampak perubahan iklim paling parah

Kerentanan dan tantangan perubahan iklim menurut Presiden tidak menghentikan komitmen Indonesia untuk berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim dengan target penurunan emisi sebesar 29 persen dengan usaha sendiri pada 2030. Target tersebut bisa meningkat hingga 41 persen dengan dukungan internasional.

Penurunan emisi Indonesia dari sektor maritim antara lain dengan memberantas penangkapan ikan ilegal dan menjaga kelestarian sumber daya serta keanekaragaman hayati.

"Mencapai kesepakatan di Paris adalah suatu keharusan.

Saya mengharapkan kita semua menjadi bagian dari solusi menjadikan bumi ini menjadi tempat yang nyaman bagi anak cucu kita menjadikan bumi menjadi tempat yang sejahtera bagi kehidupan mereka," kata Jokowi.


Komitmen Negara Maju

Konferensi puncak perubahan iklim di Paris, Prancis memasuki minggu kedua. Perundingan menyisakan beberapa hari sebelum berakhir sesuai jadwal pada 11 Desember 2015.

Pembahasan antara negara-negara maju dan berkembang menyangkut dua isu utama yakni target maksimal kenaikan suhu bumi dan bantuan pendanaan bagi negara-negara berkembang dalam menghadapi ancaman perubahan iklim belum mencapai kesepakatan.

Namun, sejumlah negara maju sudah menyatakan komitmen untuk membantu negara kepulauan kecil dan negara berkembang menghadapi perubahan iklim.

Bantuan tersebut antara lain datang dari Pemerintah Amerika Serikat yang akan berkontribusi sebesar 30 juta dolar AS untuk skema asuransi risiko iklim di Pasifik, Amerika Tengah dan Afrika. Presiden Obama mengumumkan bantuan ini dalam sebuah pertemuan dengan para pemimpin negara kepulauan kecil di Paris pada 2 Desember 2015.

Dana bantuan ini adalah bagian dari rencana terpadu untuk membantu warga yang rentan akan dampak perubahan iklim. Program bantuan itu meliputi penyediaan data iklim, peralatan dan jasa, dan menyertakan pertimbangan tentang perubahan iklim dalam bantuan pembangunan.

Bantuan AS adalah langkah mencapai tujuan yang ditetapkan pemimpin G7 pertengahan tahun ini untuk memberikan bantuan kepada 400 juta orang di negara-negara berkembang yang paling rentan terhadap dampak perubahan iklim.

Sebelumnya sebanyak 134 negara berkembang menginginkan mekanisme internasional untuk kerugian dan kerusakan sebagai bagian dari kesepakatan mengikat yang dihasilkan oleh KTT di Paris ini.

Tetapi hal ini ditolak oleh beberapa negara industri termasuk Amerika karena khawatir akan membuat negara-negara maju bertanggung jawab secara finansial atas dampak perubahan iklim.

Pemimpin negosiasi AOSIS yang juga Dirjen Kementerian Lingkungan dan Energi Maladewa, Amjad Abdulla mengatakan bantuan tersebut merupakan sinyal "tanda kemajuan" di KTT Iklim Paris.

"Kami mendorong mitra kami untuk mengenali secara seksama tantangan yang kita hadapi dan membantu untuk mengatasinya bersama," ujar Abdulla, seperti dikutip dari bagian komunikasi COP-21 Konvensi Kerangka Kerja PBB untuk Perubahan Iklim (UNFCCC).

Selain itu, sebanyak 11 negara maju yakni Kanada, Denmark, Finlandia, Perancis, Jerman, Irlandia, Italia, Swedia, Swiss, Inggris, dan Amerika Serikat berkomitmen mengucurkan 248 juta dolar AS untuk kelompok negara rentan dampak perubahan iklim.

Bantuan itu diserahkan secara simbolis pada Senin (30/11) dan akan masuk ke Pendanaan Negara-negara Tertinggal atau Least Developed Countries" (LDC) dan dikelola oleh lembaga "Global Environment Facility" (GEF).

Kelompok negara LDC beranggotakan 47 negara miskin dan berkembang, sebagian adalah negara kecil kepulauan, seperti Kiribati, Maladewa, dan Vanuatu, termasuk Filipina yang rutin dihantam badai tropis mematikan.

Negara-negara tersebut rentan terhadap dampak perubahan iklim, seperti kekeringan, badai besar mematikan, kenaikan muka air laut, dan berbagai perubahan terkait iklim.

Direktur Eksekutif GEF Naoko Ishii, seperti dikutip bagian komunikasi COP-21 menyebutkan dengan dana tersebut mereka bisa menghadapi perkembangan perubahan iklim ke depan dan menegaskan bahwa peningkatan investasi untuk adaptasi harus ada dalam kesepakatan iklim Paris.

Kesepakatan iklim Paris akan menggantikan Protokol Kyoto terkait kesepakatan internasional terikat hukum yang dilaksanakan pasca tahun 2020 untuk menurunkan emisi guna menghambat pemanasan global.

Oleh Helti Marini Sipayung
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015