Jakarta (ANTARA News) - Psikolog Suhati Kurniawati menganggap maraknya program bimbingan belajar menjelang ujian akhir dan Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri sebagai fenomena klasik.

Mengikuti bimbingan belajar (bimbel) menjadi semacam "ritual wajib" yang menurut Iin, panggilan akrab Suhati, bisa menimbulkan ketidakpercayaan diri pada anak, membuat anak-anak yang sebenarnya tidak membutuhkan merasa tidak percaya diri dengan kemampuannya jika tidak ikut bimbel.

"Pada titik tertentu, bimbel bisa timbulkan efek plasebo pada anak, yang membuat mereka jadi tidak percaya diri menjelang ujian akhir atau seleksi perguruan tinggi negeri jika tidak ikut bimbel," kata Iin, yang berpraktik di Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia.

Plasebo adalah zat atau obat tidak aktif dan tidak berefek yang tampak sama dan diberikan dengan cara yang sama dengan obat aktif serta bisa menimbulkan perasaan sembuh pada pasien.

"Bimbel itu adalah kebutuhan yang diciptakan, karena sebetulnya tidak mengikuti bimbel pun tidak masalah. Itu bukan satu-satunya jalan untuk lulus ujian atau seleksi PTN," ujarnya.

Faktanya, walau memasang tarif tinggi, lembaga-lembaga bimbel selalu penuh dengan para siswa hendak mengikuti ujian akhir atau seleksi masuk ke perguruan tinggi negeri favorit.

Kelas-kelas yang disiapkan lembaga bimbingan belajar Quin di Jakarta untuk melayani siswa yang hendak mengikuti Seleksi Bersama Masuk Perguruan Tinggi Negeri (SBMPTN) dan jalur seleksi masuk perguruan tinggi yang lain sudah penuh sejak beberapa bulan lalu.

"Seluruh kursi di 10 cabang kami di kawasan Jabotabek, yang masing-masing bisa berkapasitas 50-100 orang, sudah penuh oleh para siswa yang mempersiapkan diri masuk ke perguruan tinggi negeri," kata staf Quin, Samsiah, di kantor pusat lembaga bimbel tersebut di kawasan Fatmawati.

Padahal biaya mengikuti program bimbingan belajar di lembaga itu sekitar Rp3.750.000 untuk kelas reguler dan sampai sekitar Rp50 juta untuk persiapan khusus yang disebut supercamp.

"Peserta supercamp ada 20-an orang, beberapa ada dari provinsi luar Jakarta, seperti dari Provinsi Bangka Belitung. Biayanya sekitar Rp50 juta, sudah termasuk garansi uang yang akan dikembalikan jika peserta tidak masuk PTN pilihannya," kata Samsiah.

Program yang mulai berlangsung 4 Mei itu dilakukan dengan mengarantina para peserta selama satu bulan untuk persiapan mengikuti berbagai seleksi masuk perguruan tinggi negeri.

"Kami melibatkan motivator yang berasal dari Universitas Indonesia," ujar Samsiah. Namun layanan itu tidak diberikan kepada peserta bimbingan belajar intensif reguler, yang biayanya dipatok mulai Rp3.750.000.

Kepala Cabang Lembaga Pendidikan KSM di wilayah Salemba, Aida Fitriani, mengatakan antusiasme siswa yang mengikuti bimbingan belajar tahun ini cukup tinggi.

"Antusiasme para siswa untuk mengikuti program intensif tahun 2015 cukup tinggi," kata Aida Fitriani.

Menurut dia, ratusan siswa yang hendak mengikuti ujian nasional sudah mengikuti program itu sejak program intensif mulai dilaksanakan pada 25 April.

KSM menawarkan beragam program belajar dengan biaya mulai dari Rp3.000.000 hingga Rp5.250.000 dengan waktu bimbingan setiap hari, dari pagi hingga sore hari.

"Kami persilahkan jika para siswa ingin berdiskusi sampai pukul 19.00 WIB," ujarnya.


Seperti Mesin

Pengamat pendidikan dari Universitas Negeri Jakarta Jimmy Paat mengatakan program-program bimbingan belajar membuat anak-anak seperti mesin.

"Anak-anak dilatih secara mekanis seperti mesin untuk menjawab soal-soal dengan cepat dan tepat secara berulang-ulang," kata Jimmy ketika dihubungi Antara di Jakarta, Senin.

Jimmy menyebut itu sebagai risiko pelajar yang berlomba-lomba berusaha masuk perguruan tinggi negeri dengan mengikuti program bimbingan belajar.

"Salah satu alasan mereka ikut lembaga bimbingan itu adalah karena merasa bahwa jika hanya dengan mengikuti belajar di sekolah sesuai kurikulum tidak bisa membawa mereka diterima oleh PTN yang diharapkan," tuturnya.

Padahal, Jimmy melanjutkan, mengerjakan soal-soal hanya sebagian kecil dari proses belajar.

"Harusnya namanya bukan bimbingan belajar, tetapi bimbingan mengerjakan soal, sebab yang diajarkan memang hanya mengerjakan," katanya.

Sementara Iin mengatakan bahwa sering mengerjakan soal bersama dengan siswa lain dalam program bimbingan belajar tidak berdampak serius pada kondisi psikologis anak.

Di sisi lain, dia menyarankan orangtua membuat anak lebih santai ketika berada di rumah setelah seharian berlatih mengerjakan soal dan mengikuti bimbingan belajar.


Dampak Budaya Instan

Fenomena bimbingan belajar, menurut Iin, bisa dianggap anak sebagai jalur cepat menuju sukses, yang direpresentasikan dengan masuk ke perguruan tinggi negeri favorit.

Kondisi itu, ia melanjutkan, bisa membuat anak-anak tidak lagi menganggap serius pelajaran di sekolah.

"Budaya yang sekarang adalah budaya instan, yang menginginkan hasil dengan segera. Saya melihat hal ini juga menjangkiti anak-anak, remaja serta anak-anak muda sekarang," ujar Iin.

"Budaya instan inilah salah satu penyebab sulitnya menghapus korupsi di Indonesia. Sebab itu, untuk jangka panjang, dampaknya bisa mengerikan karena ini menyangkut generasi muda yang menjadi penerus bangsa," tuturnya.

Padahal, lanjut Iin, nilai tinggi dalam ujian seleksi masuk perguruan tinggi negeri sama sekali tidak menjamin anak dapat mengikuti perkuliahan dengan baik di universitas, institut ataupun sekolah tinggi.

"Ada kasus-kasus anak tersendat saat kuliah karena memang mereka hanya dipersiapkan untuk matang dalam mengerjakan tes masuk," lanjut Iin.

Menurut dia, permasalahan tersebut bisa diatasi dengan memperbaiki sistem pendidikan, mulai dari kurikulum, buku-buku, guru-guru, hingga metode pembelajaran.

"Kalau semua itu membaik, anak-anak tidak akan menggantungkan harapannya kepada lembaga bimbel," ujarnya.

Sementara Jimmy Paat mengatakan, anak-anak harus selalu diingatkan bahwa persiapan masuk perguruan tinggi negeri tidak hanya melalui lembaga bimbingan belajar.

Menurut dia, sekolah mengemban tanggung jawab memberikan keyakinan itu kepada para siswa agar tidak terlalu menggantungkan persiapan masuk perguruan tinggi negeri pada program-program bimbingan belajar.

Ia mengatakan sekolah bisa membuka pemikiran murid-muridnya bahwa masuk perguruan tinggi negeri favorit, yang ukurannya ditentukan dengan peringkat, bukanlah segala-galanya.

"Sekolah bisa mengarahkan siswanya untuk mencari universitas atau sekolah-sekolah tinggi yang memiliki karakteristik tertentu, yang membuat mereka tidak harus mengikuti bimbel. PTN itu bukan satu-satunya jalan hidup mereka," tutur Jimmy.

Oleh Michael Teguh Adiputra Siahaan
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015