Jakarta (ANTARA News) - Kisah Sri Lestari, seorang difable akhir - akhir ini menjadi pembicaraan yang menarik di media. Baik itu media dalam negeri maupun media luar negeri.

Perjuangan dan perjalanan Sri mengunakan motornya mengelilingi wilayah-wilayah di Indonesia menjadi kisah yang inspiratif bagi para difable di Indonesia.

Profil video tentang perjalanannya diunggah ke Youtube kemudian ditautkan sejumlah besar media di dunia salah satunya ABC News.

Wanita kelahiran Klaten, 10 Desember 1973, Jawa Tengah, ini awalnya mengalami kecelakaan ketika masih berusia 23 tahun yang menyebabkan ia menderita kelumpuhan dari pinggang ke bawah. Ia menjadi gadis penderita paraplegia--kelumpuhan di kedua belah bagian bawah tubuh, termasuk dua belah kaki.

Paraplegia adalah penurunan fungsi motor atau sensorik dari bawah. Hal ini biasanya diakibatkan oleh cederanya sum-sum tulang belakang atau kondisi bawaan seperti spina bifida yang mempengaruhi elemen-elemen saraf dari kanal tulang belakang.

"Waktu itu dokter bilang saya akan lumpuh selama hidup saya," ujar wanita tersebut dengan mata yang berkaca-kaca.

Kecelakaan di tahun 1997 itu menjadi tragedi yang tak dapat dilupakan olehnya, walaupun pada saat ia sedang duduk di kursi penumpang.

Ia mengaku semenjak lumpuh, orang tuanya berusaha mencari pengobataan yang dapat membuat dirinya kembali bisa berjalan. Bahkan Sri pernah dibawa ke hutan mengikuti saran dari warga di tempat ia tinggal.

"Selama delapan bulan saya tinggal di hutan, katanya biar bisa sembuh," tambahnya.

Namun selama depan bulan itu, kondisinya sedikitpun tidak mengalami perubahan. Ia dipulangkan kembali ke rumahnya, tanpa ada kegiatan yang dapat dilakukan selain menjahit atau membuat bordir.

"Saya bosan, tidak ada yang bisa saya lakukan untuk bisa menyenangkan diri saya, " kata Sri.

Tahun 2007 ia mendapat bantuan kursi roda dari United Cerebral Palsy (UCP) Wheels For Humanity, sebuah organisasi internasional yang mengadvokasi hak penyandang disabilitas di negara-negara berkembang.

Masih pada tahun yang sama, berkat bantuan dari sebuah bengkel di kota kelahirannya, Sri berhasil memodifikasi sebuah motor yang disambungkan dengan kursi rodanya.

Modifikasi motor yang disambungkan dengan kursi rodanya tersebut membuat dia bisa mengendarai motor untuk berkeliling Klaten.

Itu adalah titik balik kehidupan Sri Lestari.

Sri bisa pergi ke mana saja dan menjadi angoota tim pelayanan kursi roda di UCP yang membuatnya harus bertemu dengan klien-kliennya di lapangan.

Namun, perjuangannya untuk bisa berkeliling masih mendapat kendala. Ia mengaku kadang mendapat perlakuan tidak menyenangkan baik di jalanan atau di tempat parkir.

Sri selalu mendapat protes dari tukang parkir untuk memarkirkan motornya di area parkir karena modifikasi motornya yang sangat melebihi kapasitas motor-motor pada umumnya.

Memulai Perjalanan


Walaupun selalu mendapat perlakuan yang tidak menyenangkan, Sri terus berjuang.

Pada tahun 2013 ia memutuskan melakukan perjalanan keliling Indonesia menyerukan keberadaan para penyandang cacat, khususnya difable.

Delapan Mei 2013 ia memutuskan mulai melakukan perjalanan lintas Jawa--Bali menggunakan sepeda motor modifikasinya. Perjalanan yang jauh tersebut ditempuh dalam waktu tiga minggu.

Ia mengaku selain untuk memperkenalkan motor modifikasi bagi para penyandang cacat, ia juga ingin mengkampanyekan keberadaan dari penyandang cacat di jalan raya.

"Selama menempuh perjalanan lintas Jawa--Bali tidak ada kendala yang saya temui, " ujarnya.

Dalam perjalanan yang ia tempuh dalam waktu tiga minggu tersebut diisi dengan menghampiri panti-panti disabilitas yang ia temui selama perjalanan.

Sri yang merupakan anak satu-satunya dalam keluarga tersebut mengaku ia selalu di temani oleh seorang saudari keponakannya jika ia ingin menaiki tangga di tempat di mana ia menginap.

"Biasanya di hotel kalau masuk toilet karena pintunya sempit saya selalu dibantu oleh adik saya," ujarnya.

Selain itu, selama perjalanan ia juga ditemani oleh beberapa teman kantornya dan sebuah stasiun TV swasta.

Perjuangan mengkampanyekan keberadaan kaum difable ini tidak berhenti sampai di situ saja.

Ia kembali memulai perjalanan dari titik nol di Kota Sabang melintasi Banda Aceh dan kota-kota di Sumatera sejak 5 September dan tiba di Jakarta pada 10 Oktober.

Perjalanan menggunakan kursi roda bermotor tersebut ditempuh selama 35 hari dan menempuh jarak 2.500 km.

"Alhamdullilah tidak ada kendala yang cukup parah, selain jalan Sumatra yang cukup bergelombang dan kesulitan belum ada tempat-tempat khusus bagi penyandang cacat seperti saya di tempat umum," tambahnya.

Ia menjelaskan bahwa motivasi dilakukan perjalanan keduanya ini tidak jauh beda dengan perjalanan pertama. Namun, selama perjalanan ia mengaku melihat sendiri hampir 80 persen dari difable tidak bisa keluar dari rumah akibat kelumpuhan yang dialami.

"Ada yang saya temui selama 20 tahun tidak bisa bangun dari tempat tidur," katanya.

Sri mengaku meskipun belum bisa mendapat akses secara khusus dari pemerintah untuk para penyandang cacat, ia mempunyai misi agar kelak pemerintah bisa lebih memperhatikan para penyandang cacat.

Caranya yaitu dengan membangun fasilitas-fasilitas di tempat-tempat umum, baik itu di terminal dan pom-pom bensin yang memiliki toilet.

Ketika Sri berjumpa dengan Wakil Gubernur DKI Jakarta, Ahok, ia mendapatkan informasi bahwa di Jakarta sudah ada Peraturan Daerah (Perda) yang menaruh perhatian terhadap kaum difable, namun implementasinya sangat sedikit.

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Mari Elka Pengestu, juga bernada serupa.

"Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah yang menjamin hak-hak penyandang disabilitas sudah ada. Hanya kini tinggal mengimplementasikanya," kata Mari Elka Pangestu.

Sri Lestari akan menutup perjalanannya mengkampayekan hak-hak difable pada 12 Oktober 2014 di Tugu Proklamasi Jakarta.

Oleh Kornelis Kaha
Editor: Ella Syafputri
Copyright © ANTARA 2014