Tidak lazim bisa terlambat hampir setahun seperti itu, sebenarnya ada apa ini ?, ada motif apa ?"
Jakarta (ANTARA News) - Pengamat hukum tata negara Refly Harun meminta Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Mahfud MD menjelaskan ihwal terlambatnya putusan MK soal uji materi Undang-undang Pemilihan Presiden yang akhirnya mengabulkan pelaksanaan pemilu secara serentak.
      
Hal itu karena putusan pemilu serentak sudah diambil pada 26 Maret 2013 saat MK diketuai Mahfud, namun baru dibacakan Kamis (23/1) kemarin yang akhirnya membuat Pemilu serentak tidak mungkin dilakukan pada 2014.
     
"Tidak lazim bisa terlambat hampir setahun seperti itu, sebenarnya ada apa ini ?, ada motif apa ?" kata Refly kepada ANTARA News di Jakarta, Jumat.
      
Jika putusan MK itu segera dibacakan setelah rapat permusyawaratan Hakim pada Maret lalu, kata dia, pemilu serentak dapat langsung diimplementasikan untuk Pemilu 2014.
     
"Jika sudah begini kan, yang untung partai-partai besar saja. Keputusan diambil Maret, Mahfud pensiun Mei, kenapa tidak langsung dibacakan, Mahfud harus turut menjelasakan," ujarnya.
     
Selain itu, ujar dia,  tidak akan muncul kegaduhan politik seperti saat ini yang dapat menimbulkan keraguan masyarakat soal keabsahan hasil Pemilu.
     
Mengenai amar putusan MK yang dibacakan Kamis lalu dan menysaratkan pemilu serentak mulai dilaksanakan pada Pemilu 2019, Refly menilai hal itu wajar karena mempertimbangkan aspek sosial dan politik terkait Pemilu 2014 yang momentumnya sudah sangat dekat.
    
Selain itu, untuk melaksanakan Pemilu serentak, kata dia, diperlukan aturan baru sebagai dasar hukum.
       
"Selain itu, mekanisme di KPU sudah berjalan dan untuk mengimplementasikan peraturan yang baru tidak akan bisa secepat itu," ujarnya.
    
Sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK), Kamis kemarin, mengabulkan pengujian Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2008 tentang Pemilihan Umum Presiden dan Wakil Presiden (Pilpres) terkait pelaksanaan pemilu serentak pada 2019 dan seterusnya.
        
"Menyatakan Pasal 3 ayat (5), Pasal 12 ayat (1) dan ayat (2), Pasal 14 ayat (2), dan Pasal 112 UU Pilpres bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Amar putusan dalam angka 1 tersebut di atas berlaku untuk penyelenggaraan pemilihan umum tahun 2019 dan pemilihan umum seterusnya," kata Ketua Majelis Hakim Hamdan Zoelva.(*)

Pewarta: Indra Arief Pribadi
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2014