Jakarta (ANTARA) - Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Serikat Pekerja (SP) PT PLN (Persero) menilai serikat pekerja mempunyai peran penting dalam pengelolaan kebijakan transisi energi di Indonesia, dengan memastikan transisi energi dimiliki dan dikelola oleh negara.

"Saat ini, secara regulasi dan kapasitas, baik daerah maupun nasional belum sepenuhnya siap untuk transisi energi. Transisi energi di Indonesia juga harus memperhatikan dampak sosial ekonomi dan kesehatan masyarakat," kata Ketua Umum DPP SP PLN, M Abrar Ali dalam keterangan di Jakarta, Jumat.

Menurut dia, transisi energi harus mempertimbangkan aspek kedaulatan energi, agar tidak terjebak dalam ketergantungan teknologi dan utang asing. Pendekatan transisi energi yang adil dan demokratis harus melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk pemerintah, industri, serikat pekerja, masyarakat adat, dan masyarakat sipil.

Dari perspektif konstitusional, transisi energi harus sesuai dengan amanat konstitusi yaitu tetap dikuasai oleh negara demi menyediakan energi yang terjangkau bagi masyarakat, aman bagi lingkungan dan pelanggan. Ini berarti bahwa kebijakan dan praktik transisi energi harus memastikan akses energi yang adil dan terjangkau, serta perlindungan lingkungan yang berkelanjutan.

Abrar Ali mengingatkan bahwa posisi strategis serikat pekerja/serikat buruh lahir dari kesadaran bahwa Pasal 33 UUD 1945 mengatur pengelolaan sumber daya energi dan mineral yang harus dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat dan dikuasai oleh negara.

"Oleh karena itu, serikat pekerja tidak sekedar memperjuangkan kepentingan buruh, lebih luas dari itu menjamin hak konstitusional warga negara terkait ketenagalistrikan," ujar Abrar Ali dalam orasinya memperingati Hari Buruh Internasional atau May Day 2024.

Abrar menyampaikan apresiasi dan dukungan atas pernyataan Wakil Menteri BUMN Kartika Wirjoatmodjo dalam Forum BUMN bahwa tantangan dalam transisi energi di Indonesia adalah saat ini belum memiliki jaringan antarpulau (inter island grid) dan sub sistem kelistrikan di Indonesia masih terpisah-pisah.

"Ini menjadi tantangan besar karena Jawa sekarang base load-nya hampir semua batubara, perlu waktu untuk memastikan bahwa transmisinya tersambung dan produksi listrik hidro dan geotermal cukup sehingga bisa melakukan transisi secara efektif, transisi energi ini harus dilakukan hati-hati," katanya.

Listrik yang dihasilkan tarifnya harus terjangkau oleh masyarakat dan harus dipastikan PT PLN (Persero) tidak mengalami kesulitan keuangan.

SP PLN siap mendukung dan mengawal agar ada kepastian bahwa transisi energi adalah tanggung jawab negara atau pemerintah sementara PLN sebagai pelaksana atau operatornya.

"Sumber anggaran harus jadi tanggungjawab negara, agar PLN dapat melaksanakan mandatori tersebut," katanya.

Abrar juga menyayangkan hingga saat ini roadmap ketenagakerjaan untuk Just Energy Transition belum ada. Seharusnya pekerja sebagai kelompok pertama yang paling terdampak harus dilibatkan.

Terkait dengan Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), SP PLN menyerukan keselamatan dan kesehatan pekerja merupakan bagian dari hak-hak pekerja yang harus dilindungi, agar selalu memastikan setiap lingkungan kerja aman dan memberikan perlindungan kepada pekerja dari risiko pekerjaan.

Abrar Ali meminta para pekerja agar melakukan komunikasi dengan manajemen atau PIC yang bertanggung jawab jika menemukan unsafe condition seperti APD dan peralatan kerja rusak, sertifikat kompetensi sudah habis/kadaluarsa, SOP pekerjaan yang tidak ada/tidak up to date, dan kondisi lain yang dirasa berpengaruh kepada keselamatan kerja.

Baca juga: RI tekankan pentingnya kekuatan APBN untuk efektivitas transisi energi
Baca juga: PLN Gandeng Huawei Kembangkan Joint Innovation Center, Perkuat Pondasi Digital Untuk Transisi Energi
Baca juga: SP PLN: "Power wheeling" bentuk liberalisasi pengelolaan listrik

 

Pewarta: Faisal Yunianto
Editor: Biqwanto Situmorang
Copyright © ANTARA 2024