Pemerintah tidak ragu untuk melaksanakan putusan MA tersebut.
Jakarta (ANTARA) - Wakil Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) Edwin Partogi Pasaribu menyambut baik putusan Mahkamah Agung (MA) yang resmi membatalkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 99 Tahun 2012.

Menurut Edwin Partogi Pasaribu berdasarkan siaran pers yang diterima di Jakarta, Senin, PP Nomor 99 Tahun 2012 yang mengatur pengetatan pemberian remisi bagi pelaku tindak pidana korupsi, narkotika, terorisme, dan lainnya itu sepatutnya menjadi kewenangan hakim.

Ia menilai tidak boleh ada hukuman tambahan di luar putusan hakim. Dengan begitu, apabila ada penghapusan hak narapidana, sebaiknya hal tersebut menjadi bagian dari putusan hakim.

Sebelumnya, Majelis Hakim MA yang diketuai Supandi dengan hakim anggota Yodi Martono dan Is Sudaryono mengabulkan uji materiil yang dimohonkan mantan Kepala Desa Subowo dan empat orang warga binaan Lapas Kelas IA Sukamiskin Bandung.

Pemohon menilai ada sejumlah pasal dalam PP Nomor 99 Tahun 2012 yang bertentangan dengan undang-undang berlaku, di antaranya adalah Pasal 34 A ayat (1) huruf a dan b, Pasal 34A ayat (3), dan Pasal 43 A ayat (1) huruf a, Pasal 43A ayat (3) yang bertentangan dengan undang-undang berlaku.

Dalam putusannya, majelis hakim menimbang fungsi pemidanaan tidak hanya untuk memenjarakan pelaku agar jera, tetapi juga usaha rehabilitasi dan reintegrasi sosial yang sejalan dengan model keadilan restoratif. Karena itu, hak untuk mendapatkan remisi harus diberikan bagi semua warga binaan, kecuali hal itu dicabut berdasarkan putusan pengadilan.

Edwin pun memiliki pendapat yang sama. Menurutnya, konsep sistem pemidanaan diperuntukkan dalam menyiapkan terpidana kembali ke masyarakat.

“Penghuni terbesar lapas adalah terpidana narkorba. Terpidana narkoba sebagian merupakan pemakai. Kalau disyaratkan sebagai justice collaborator (JC), maka hal itu akan memberatkan mereka, karena narkoba jaringan tertutup dan melibatkan mafia, termasuk oknum. Penjara kita mengalami overcrowded (kepadatan penghuni),” ujar Edwin.

Justice Collaborator (JC) merupakan seorang pelaku tindak pidana yang bersedia bekerja sama dengan aparat penegak hukum untuk membongkar kejahatan atau kasus yang dinilai rumit dan berskala besar.

Khusus bagi JC itu, kata Edwin, ada Pasal 10A Undang-Undang Perlindungan Saksi dan Korban yang mengatur mengenai penanganan khusus dan penghargaan atas kesaksian yang diberikan.

“Pembebasan bersyarat, remisi tambahan, dan hak narapidana lain merupakan bentuk penghargaan bagi JC atas kesaksian yang mereka berikan,” kata Edwin pula.

Namun dalam praktiknya, ujar Edwin, PP Nomor 99 Tahun 2012 menghambat implementasi pemenuhan hak narapidana yang diatur dalam Pasal 10A UU Perlindungan Saksi dan Korban.

“Terjadi penyimpangan atau kolusi antara terpidana dengan oknum aparat untuk mendapatkan status JC, agar narapidana bisa mendapatkan haknya. Anehnya lagi, bila pelaku tunggal, juga bisa diterbitkan status JC,” ujar Edwin pula.

Ia mengatakan berdasarkan pengalaman LPSK, sebagian kepala lembaga pemasyarakatan lebih merujuk PP ini dibandingkan Pasal 10A yang juga mengatur hak-hak narapidana bagi JC.

Edwin juga mengatakan Kementerian Hukum dan HAM saat ini sedang menyusun peraturan turunan dari Pasal 10A Undang-Undang No. 31 Tahun 2014. Dengan demikian, pencabutan PP No. 99 Tahun 2012 sejalan dengan penyusunan tersebut.

Oleh karena itu, ia meminta Pemerintah tidak ragu untuk melaksanakan putusan MA tersebut.
Baca juga: Mahfud dukung kebijakan pengetatan remisi koruptor
Baca juga: Deny akui pengetatan remisi untuk pencitraan


Pewarta: Tri Meilani Ameliya
Editor: Budisantoso Budiman
Copyright © ANTARA 2021