Buku Kiai Shiddiq dan sejumlah zuriahnya yang banyak berperan dalam masyarakat dapat menjadi rujukan tak terbantahkan tentang peran para ulama NU.
Denpasar (ANTARA) - Kehadiran buku Tinta Emas Perjuangan untuk Indonesia - Kiai Shiddiq - Kisah Hidup Kiai wa Dzurriyah (Penerbit Kompas, 2020) dari karya almarhum Afton Ilman Huda (penulis) seolah melengkapi dokumen peran ulama dalam histori keindonesiaan.

Ya, selain tepat menjelang Hari Santri 2021, buku itu sangat historis karena catatan historis tentang peran para ulama dalam perjuangan hampir tidak ada. Para ulama merupakan sosok yang sangat ikhlas dalam perjuangan.

Namun, satu dasawarsa terakhir telah hadir sejumlah penulis yang membuktikan peran ulama dalam sejarah bangsa itu fakta, bahkan para penulis pun menyertakan dokumen historis yang tak terbantahkan.

Selain almarhum, para penulis sebelumnya di antaranya H. Choirul Anam (Ansor/PKNU), Ki Agus Sunyoto (Lesbumi/almarhum), Prof. H. Ali Haidar (RMI/Unesa), dan bahkan beberapa peneliti asing atau Indonesianis yang menguak masa lalu bangsa ini.

Masa silam yang di dalamnya ada peran kaum santri yang sangat jelas secara historis dalam perjuangan kebangsaan. Puncaknya adalah pengakuan negara dengan penetapan Hari Santri terhitung sejak 22 Oktober 2015 dan penganugerahan gelar pahlawan untuk sejumlah ulama.

Nah, penulis buku yang masih zuriah Kiai Shiddiq (penulis wafat pada tanggal 8 November 2020) itu pun menguatkan pengakuan negara itu dengan dokumen historis yang lengkap dan kuat. Buku ini pun terasa penting pada Hari Santri 2021.

Buku setebal 294 halaman itu diawali dengan cerita tentang sosok dan amaliah/perjuangan Kiai Shiddiq (halaman 1—95), lalu disambung kisah-kisah perjuangan zuriah/keturunan, yakni Kiai Achmad Qusairi (halaman 100—109), dan Kiai Mahfudz Shiddiq (halaman 110—133).

Zuriah lainnya, Kiai Achmad Shiddiq (halaman 134—162), Kiai Ali Mansur (halaman 163—173), Kiai Dhofir Salam (halaman 174—194), Kiai Abdulloh Shiddiq (halaman 195—209), dan Bin Mahmud Shiddiq (halaman 210—220).

Ada pula, Kiai Abdul Halim (halaman 221—228), Kiai yang Syadid (halaman 229—232), Kiai Yusuf Muhammad (halaman 233—249), Kiai Thoyfur (halaman 250—263), dan Kiai Hamid Pasuruan (264—284).

Bukti historis yang melengkapi kesahihan buku ini, antara lain foto-foto era 1970-an atau sebelumnya dari Data Arsip Nasional maupun dokumen kegiatan NU (ejaan lama). Ada pula rujukan buku, internet, dan pidato sehingga dokumen-dokumen yang ada sangat historis.

Baca juga: Menko PMK: Hari Santri momentum kobarkan semangat membangun Indonesia

Kiai Shiddiq yang nama lengkapnya Kiai Muhammad Shiddiq bin Abdulloh merupakan pengasuh Pondok Pesantren Talangsari yang kini beralamat di Jalan K.H. Shiddiq, Kelurahan Jember Kidul, Kecamatan Kaliwates, Kabupaten Jember, Jawa Timur.

Pesantren asuhannya yang didirikan pada tahun 1915 itu kini sudah berkembang menjadi beberapa pesantren, yakni Al-Fattah, Ashtra, Zainab Shiddiq, Ashri, dan Al-Ghofilin dengan beberapa lembaga pendidikan di dalamnya (TK, MI, MTs, SMP, MA, SMA).

Amaliah Kiai Shiddiq yang diceritakan antara lain kasih sayang kepada burung dan semut (halaman 3—7), sikap strengh/kuat pada hal-hal yang makruh untuk tidak dilakukan, seperti memelihara kumis, merokok, kentut sambil tertawa, dan tidak berpakaian di lokasi umum (halaman 8—11).

Kiai Shiddiq juga punya amaliah yang istikamah yakni salat berjemaah, membangunkan santri menjelang salat Subuh dengan membawa teko berisi air dan tongkat penjalin, dan salat sunah 100 rakaat setiap hari.

Selain itu, khatam Alquran seminggu sekali, mengajar mengaji Alquran, mengajar kitab kuning (Ihya Ulumuddin, Shahih Bukhori), suka silaturahmi, dan suka menjodohkan atau mak comblang (halaman 13—17).

Pendirian Pesantren Talangsari pada tahun 1915 juga berliku. Awalnya Kiai Shiddiq yang juga pedagang (berdagang kitab, kain, sarung, dan alat pertanian) itu membeli tanah seluas 0,5 hektare (tanah dengan tanaman padi di atasnya) dengan harga Rp310 (halaman 23).

Namun, rencana itu terkatung-katung karena usaha perdagangannya tersendat-sendat. Oleh karena itu, Kiai Shiddiq pun terpaksa menawarkan tanahnya kepada orang Cina dengan harga Rp650,00.

Akhirnya, tanahnya dibeli oleh orang kaya bernama H. Mohammad Alwi yang justru mewakafkan kepada Kiai Shiddiq sehingga pesantren pun berdiri. Namun, Kiai Shiddiq tetap berdagang secara berpindah-pindah pasar sesuai dengan hari pasaran (halaman 24—25).

Tujuan pendirian pesantren itu, Kiai Shiddiq itu datang jauh-jauh dari Lasem (Jateng) ke Gebang (Jember/Jatim) pada tahun 1900 untuk menyiarkan agama di tengah masyarakat yang masih "mo-limo" (5-M), yakni maling/mencuri, minum/mabuk, main/judi, madon/zinah, dan madat/narkoba (halaman 26—27).

Tujuan lain, Kiai Shiddiq memiliki tujuan mulia untuk melakukan kaderisasi mukmin/ulama. Sejarah membuktikan bahwa kader yang lahir dari Pesantren Talangsari itu ada yang menjadi kiai, guru, dokter, polisi, politikus, pejabat/pemerintah, dan pengusaha.

Baca juga: Menag ajak santri miliki komitmen bela Tanah Air di sepanjang hidupnya

Bahkan, ada pula beberapa ulama besar, seperti Kiai Mahfudz Shiddiq (era penjajah Jepang), Kiai Achmad Shiddiq (era 1980-an), Kiai Muzakki Syah (era 2000-an), dan lainnya (halaman 28).

Yang menarik, strategi kaderisasi ulama itu dirintis Kiai Shiddiq dengan cara unik yakni meminta para santrinya untuk mendirikan masjid di kampung halamannya. Namun, permintaan itu tetap disikapi Kiai Shiddiq dengan "terjun langsung" membantu santrinya melalui ajakan kiai kepada tokoh masyarakat untuk bergotong royong (halaman 31—32).

Ada sekitar 13 masjid di Jember yang didirikan dengan strategi "bina masjid" itu. Namun, hal itu bukan berarti tanpa kendala karena masyarakat yang "menolak" juga ada meski penolakan itu secara tidak langsung, seperti dialami Kiai Imam Rozi yang menjadi takmir Masjid Ar-Rahmah di Kampung Kebonsari.

Kadang kala, dia mendapatkan kue atau nasi dari tetangga yang dipahami sebagai bagian dari tasyakuran dalam hajat tertentu. Nasi atau kue itu selalu diteskan terlebih dahulu kepada ayam. Pernah ada ayam yang mati setelah makan kue tertentu sehingga kue itu pun dibuang karena mengandung racun dan sasarannya untuk meracuni takmir masjid.

Itulah liku-liku perjuangan yang akhirnya membuahkan hasil dengan berkembangnya jumlah santri melebihi 100 orang dan bukan hanya berasal dari daerah sekitar, melainkan juga datang dari Banyuwangi dan Madura, bahkan ada juga yang datang dari Kebumen dan Pasuruan atau santri-santri berdialek Jawa (halaman 37).

Garis Keturunan

Sosok Kiai Shiddiq yang alim itu tidak terlepas dari garis keturunan yang bermula dari para kiai/ulama di Tanah Jawa. Kiai Shiddiq lahir di Lasem, Rembang, Jawa Tengah pada tahun 1854.

Putra beliau, Kiai Achmad Qusyairi dan Kiai Abdul Halim, mencatat ayahanda memiliki garis keturunan yang sambung antara ayah dan ibunya pada leluhurnya, yakni Mbah Sambu.

Namun, catatan pada halaman 47 yang dilengkapi dengan foto historis yang menunjukkan kediaman lama dari Kiai Shiddiq di Lasem itu disebut Kiai Shiddiq kurang begitu suka bercerita tentang garis keturunannya kepada Mbah Sambu yang memiliki sanad ke Rasulullah itu. Pasalnya, mengetahui garis keturunan itu bukan hanya meningkatkan silaturahmi.

Selain meningkatkan silaturahmi, ungkapan adanya silsilah itu juga bisa berdampak negatif, karena orang menjadi sombong, arogan, dan bangga dengan leluhur, padahal perilaku belum tentu mencerminkan ajaran leluhur itu.

Namun, adanya silsilah dari Kiai Shiddiq itu mendukung bahwa Kiai Shiddiq sebagai zuriah (garis keturunan) ulama adalah wajar bila akhirnya juga melahirkan ulama dan tokoh masyarakat di Tanah Jawa.

Apalagi, Kiai Abdul Halim Shiddiq mencatat ayahanda belajar (nyantri/berguru) kepada sejumlah kiai, di antaranya Kiai Abdul Azis bin Baidlowi Lasem, Kiai Sholeh Darat As-Samarani Semarang (fotonya di halaman 52), Kiai Sholeh Langitan Tuban, Syaichona Cholil Bangkalan, Kiai Ya'cub Siwalan Panji Sidoarjo, dan Kiai Abdurrochim Sepanjang Sidoarjo.

Dari halaman 49—59 tercatat beberapa cerita menarik dari perjalanan "nyantri" Kiai Shiddiq, seperti ketika beliau berpindah dari Kiai Sholeh Darat Semarang ke Kiai Sholeh Langitan Tuban, ternyata Kiai Sholeh Darat mengaku kalau Kiai Sholeh Darat baru saja datang kepadanya menyampaikan alasan Kiai Shiddiq nyantri ke Langitan.

Alasannya, Kiai Shiddiq merasa aneh dengan dialek Kiai Sholeh Darat yang kental dengan dialek Jawa yakni membaca Ain dengan Ngain. Tentu saja Kiai Shiddiq malu dengan cerita Kiai Sholeh Langitan itu sehingga beliau kembali nyantri ke Semarang.

Baca juga: Wakil Ketua MPR RI: Perpres 82/2021 kado jelang peringatan Hari Santri

Cerita unik lainnya adalah Kiai Shiddiq ternyata pernah menjadi "ustaz" bagi Hadratussyeikh K.H. Hasyim Asy'ari (pendiri NU) saat keduanya "nyantri" di Siwalan Panji, Buduran, Sidoarjo (Kiai Ya'cub). Hingga kini, lokasi K.H. Hasyim Asy'ari "mondok" di Buduran itu masih tertata rapi. Bukti historis yang riil.

Bahkan, Kiai Achmad Mursyid (menantu Kiai Mahfudz bin Shiddiq) masih menyimpan surat dari Hadratussyeikh K.H. Hasyim Asy'ari kepada Kiai Shiddiq sebagai "senior" di Pesantren Siwalan Panji Sidoarjo. Isinya, Hadratussyeikh K.H. Hasyim Asy'ari minta dukungan pendirian NU.

Tidak hanya itu, perpindahannya ke Jember juga unik. Kiai Shiddiq bermimpi bertemu Rasululllah membawa bakul di tangan kiri dan membawa tasbih di tangan kanan.

Lantas menakwilkan mimpi itu sebagai petunjuk bahwa dia harus hijrah ke timur untuk perjuangan agama, lalu ia bertanya "timur" kepada gurunya, K.H. Cholil Bangkalan, yang dijawab ke Jember. Pada tahun 1900, Kiai Shiddiq mulai hijrah ke Jember (bermula di Gebang), lalu berpindah ke Talangsari pada tahun 2015 hingga wafat pada tahun 1934. (Halaman 61—66).

Sejak kedatangannya pada tahun 1900 hingga 1915, Kiai Shiddiq adalah Kiai Pedagang atau kiai yang berprofesi sebagai pedagang saat berada di Ndalem Gebang. Sejak pindah ke Talangsari pada tahun 2015 itulah Kiai Shiddiq betul-betul sebagai kiai yang fokus mengajar ngaji hingga wafatnya pada tahun 1934 (19 tahun).

Selama di Jember, banyak ulama yang menilai Kiai Shiddiq merupakan wali yang memiliki karamah. Seorang wali itu selalu terjaga dari dosa besar dan perbuatan buruk.

Konon, Kiai Sholeh Winongan Pasuruan merupakan kiai yang membuka misteri kewalian Kiai Shiddiq karena dia diperintah guru spiritualnya untuk berguru kepada seorang waliullah yang berprofesi sebagai pedagang di pasar sambil mengajar ngaji (halaman 71).

Salah santrinya bercerita, suatu saat Kiai Shiddiq akan berdagang sarung, songkok, dan sebagainya ke Arjasa. Akan tetapi, kiai datang terlambat di stasiun sehingga kereta sudah berangkat. Ketika hendak pulang, ada seorang penghulu yang memberi salam tempel Rp1 (sekitar Rp100 ribu untuk saat ini).

Sebelum tiba di rumah, Kiai Shiddiq belanja di pasar dan akhirnya dimasak di rumah, lalu tertidur. Dalam tidurnya, Kiai Shiddiq bermimpi bertamu ke rumah penghulu itu dan diberi jamuan babi. Maka, ketika bangun langsung bilang kepada santri agar sayur yang dimasak itu dibuang semuanya karena haram.

Baca juga: Kemenag minta santri Tebuireng-Jombang harus kuasai teknologi

Ada cerita lain dari Kiai Syarqowi bin Toha dari Condro, Jember, yang mengaku mendapat cerita dari santri Kiai Shiddiq di Kalisat, yang lupa namanya.

Ceritanya, Kiai Shiddiq kedatangan seorang tentara Belanda yang di dalam mobil jipnya terdapat beberapa bom. Spontan Kiai Shiddiq bilang: "Lha kok tuan membawa degan (kelapa muda)?"

Sang tentara itu penasaran dan menengok, ternyata bom sudah berubah jadi degan sehingga tentara itu pun keder dan pulang (halaman 72).

Setiap Ahad malam Senin, Kiai Shiddiq selalu mengajak santri untuk membaca Kitab Selawat Barzanji. Suatu saat, ketika membaca Barzanji itu tampak hadir Nabi Muhammad saw. sehingga kiai spontan berdiri dengan tangan bersedekap seperti orang takzim (memberi hormat) sebagaimana saat Qiyam sambil mata terisak-isak menangis.

Dari peristiwa itu, setiap Ahad malam Senin di Pesantren Talangsari dan pesantren yang diasuh zuriah Kiai Shiddiq selalu melakukan selawatan yang populer dengan Diba'an itu.

Disebut Diba'an karena syair selawat yang dibaca merupakan karya Syaikh Abdurrahman bin Ali bin Muhammad bin Umar bin Ali bin Yusuf bin Achmad bin Umar Ad-Diba'i Asy-Syaibani dan diselingi membaca syair selawat karya Syaikh Muhammad bin Ja'far bin Husin bin Abdul Karim, bin Muhammad Al-Barzanji (Irak). (Hlm. 79-80).

Bab berikutnya (Bab III sampai VII), buku ini mengupas zuriah Kiai Shiddiq yang memiliki peran penting di tengah masyarakat, di antaranya Kiai Achmad Qusyairi (kiai salaf yang produktif menulis kitab/hlm.100), dan Kiai Mahfudz Shiddiq (kiai yang memajukan NU se-Indonesia/hlm.110).

Selanjutnya, Kiai Achmad Muhammad Hasan alias Kiai Achmad Shiddiq (pemikir ideologi Pancasila yang sufi, bintang Muktamar NU Situbondo/hlm.134), Kiai Ali Mansur (pengarang Selawat Badar/hlm.163), dan Kiai Dhofir Salam (kiai pendiri Sekolah Islam dan pebisnis/hlm.174).

Berikutnya, Kiai Abdullah Shiddiq (kiai pejuang kemerdekaan dan politisi/hlm. 195), Bin Mahmud Shiddiq (keturunan Sultan Hadi Wijaya/hlm. 210), Kiai Abdul Halim Shiddiq (mubalig penyebar dakwah/hlm. 221), dan Kiai yang Syadid, Kuat, Berani, dan Teguh Pendirian/hlm. 229).

Ada pula, Kiai Yusuf Muhammad (mubalig politik), Kiai Thoyfur (mubalig politikus yang santun/hlm. 250), dan Kiai Hamid (waliullah/hlm. 264).

Ya, buku Kiai Shiddiq dan sejumlah zuriahnya yang banyak berperan dalam masyarakat itu dapat menjadi rujukan tak terbantahkan tentang peran para ulama NU dalam kancah perjuangan hingga kemerdekaan dan pembangunan.

Apalagi, buku itu memiliki referensi historis yang cukup kuat berupa foto-foto era 1970-an atau sebelumnya dari Data Arsip Nasional maupun dokumen kegiatan NU (ejaan lama).

Baca juga: Sarung antara simbol perlawanan kaum santri dan ekonomi kreatif

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021