Indonesia terus berupaya mengendalikan malaria dan mewujudkan masyarakat yang hidup sehat dan terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai pada 2030
Jakarta (ANTARA) - Sebagai salah satu masalah kesehatan masyarakat di Indonesia, malaria menyebabkan kematian, utamanya pada kelompok yang sangat rentan yakni, bayi, anak di bawah lima tahun (balita), dan ibu hamil.

Malaria juga menyebabkan anemia (kurang darah) sehingga berdampak pada penurunan produktivitas kerja.

Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), setiap tahun, lebih dari 400.000 orang meninggal karena malaria. Diagnosis dini dan pengobatan malaria sangat penting untuk manajemen kasus yang cepat dan efektif.

Organisasi tersebut bahkan menyatakan hampir setengah dari populasi dunia berisiko terkena malaria. Di daerah dengan penularan malaria yang tinggi, anak-anak dan perempuan hamil berisiko tinggi terhadap infeksi malaria dan kematian.

Saat ini malaria masih menjadi penyakit endemis di sebagian besar wilayah Indonesia, terutama di daerah perdesaan dan terpencil.

Malaria ditularkan melalui gigitan nyamuk Anopheles betina yang terinfeksi parasit yang menyebabkan penyakit itu, yang disebut plasmodium (P). Di dalam tubuh manusia, parasit Plasmodium akan berkembang biak di organ hati kemudian menginfeksi sel darah merah.

Penularan parasit plasmodium kepada manusia dapat juga terjadi dari perempuan hamil ke janin.

Ada empat plasmodium yang menyebabkan malaria, yaitu P falciparum yang merupakan jenis yang banyak terdapat di Afrika dan menyebabkan gejala parah, P vivax yang banyak terdapat di daerah tropis Asia termasuk di Indonesia, P malariae yang banyak terdapat di Afrika dan dapat berdiam di aliran darah tanpa menimbulkan gejala apapun untuk beberapa tahun, serta P ovvale yang banyak terdapat di Afrika barat.

Sejak 2010 hingga 2020, kasus malaria di Indonesia memang mengalami penurunan, yang mana pada 2010 angka kasus positif malaria di Indonesia tercatat 465,7 ribu, sedangkan pada 2020 terjadi penurunan kasus positif sehingga angka menjadi 235,7 ribu.

Selain itu, angka kesakitan malaria per 1.000 penduduk berisiko dalam satu tahun atau Annual Parasite Incidence (API) juga turun yang mana pada 2010 sebesar 1,96, dan pada 2020 menjadi 0,87. Namun, target bebas malaria pada 2030 masih harus dikejar.

Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin mengatakan pemerintah Indonesia terus berupaya mengendalikan malaria dan mewujudkan masyarakat yang hidup sehat dan terbebas dari penularan malaria secara bertahap sampai pada 2030.

Program eliminasi malaria yang dilakukan Pemerintah Indonesia mempunyai kegiatan utama, yakni peningkatan kualitas dan akses terhadap penemuan dini dan pengobatan malaria; penjaminan kualitas dan akses terhadap penemuan dini dan pengobatan malaria;

Program itu juga mencakup kegiatan perlindungan terhadap kelompok rentan terutama ibu hamil dan bayi di bawah lima tahun (balita) di daerah endemis tinggi.

Selain itu, program juga berisi kegiatan penguatan penanganankejadian luar biasa dan surveilans kasus malaria, intervensi vektor termasuk surveilans vektor, serta penguatan sistem pengelolaan logistik malaria.

Hingga 2020, sebanyak 318 kabupaten/kota di Indonesia yang berhasil mengeliminasi malaria.

Ada tiga provinsi yang sudah mencapai 100 persen eliminasi malaria, yaitu DKI Jakarta, Jawa Timur, dan Bali. Sementara, Maluku, Papua dan Papua Barat masih merupakan provinsi yang wilayahnya belum mencapai eliminasi malaria.

Namun, masih ada 23 kabupaten/kota yang endemis malarianya masih tinggi, 21 kabupaten/kota endemis sedang, dan 152 kabupaten/kota endemis rendah pada 2020.

Sementara pada 2021, ditargetkan sebanyak 345 kabupaten/kota yang mencapai eliminasi malaria pada 2021. Untuk mewujudkan pencapaian target itu, diperlukan intensifikasi kegiatan penanggulangan malaria secara terpadu dan menyeluruh.

Setiap daerah didukung dan didorong agar bebas malaria baik kabupaten/kota maupun tingkat provinsi.

Menurut Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonosis Kementerian Kesehatan Dr. drh. Didik Budijanto, M.Kes, saat ini masih ada 24 kabupaten yang endemis tinggi malaria dengan jumlah penduduk 3.147.965 orang. Dari jumlah tersebut, terdapat 532.812 atau sebanyak 11 persen adalah kelompok umur balita.

Pemerintah Indonesia ambisius untuk dapat mengeliminasi malaria dari Tanah Air dengan target tahun 2030, melalui berbagai intervensi termasuk melakukan distribusi kelambu anti nyamuk massal sejumlah lebih dari tiga juta kelambu setiap 2-3 tahun.

Pemerintah juga menjamin ketersediaan alat diagnosis dan pengobatan malaria, melakukan pemeriksaan malaria secara aktif dari pintu ke pintu melalui kader malaria, serta melakukan pengendalian nyamuk penular malaria bersama masyarakat melalui perbaikan lingkungan.

Pengembangan obat

Guna mendukung penanggulangan dan pengendalian malaria di Tanah Air, pengembangan obat antimalaria merupakan upaya penting untuk menurunkan kejadian dan mencegah meluasnya kejadian infeksi dan penularan malaria.

Tingkat resistensi malaria terhadap antimalaria juga makin tinggi menyebabkan obat-obatan antimalaria yang ada menjadi tidak begitu efektif. Itu memberikan desakan pada penemuan obat baru untuk antimalaria.

Woon-Chien Teng, Ho Han Kiat, Rossarin Suwanarusk, dan Hwee-Ling Koh dalam bukunya yang berjudul Medicinal Plants and Malaria: Applications, Trends, and Prospects, mengatakan beberapa obat antimalaria telah tersedia, tetapi dunia saat ini menghadapi masalah mendesak, yakni munculnya Plasmodium falciparum yang resisten terhadap banyak obat, yang menyebabkan kegagalan pengobatan.

Menurut WHO, resistensi terhadap semua kategori antimalaria telah didokumentasikan untuk P falciparum, P vivax, dan P malariae.

Resistensi terhadap artemisinin, yang digunakan untuk pengobatan malaria, menyebar di Asia Tenggara. Awalnya terdeteksi di Kamboja barat, Myanmar timur, Thailand barat, dan Vietnam selatan, tetapi resistensi juga muncul di Laos selatan dan Kamboja timur laut.

Resistensi terhadap klorokuin, antimalaria termurah dan paling umum digunakan, dan sulfadoksin-pirimetamin menyebar di daerah endemik. Selain itu, kemoterapi yang ada memiliki potensi efek samping dan toksisitas.

Woon-Chien Teng dan rekannya menuturkan sebanyak 1.854 tanaman dari 196 famili dan 1012 genus dilaporkan digunakan untuk malaria secara global. Namun, tidak banyak obat yang dihasilkan. Untuk itu, perlu dukungan untuk kemajuan penelitian dan pengembangan agar obat baru untuk antimalaria bisa sampai pada uji praklinis, uji klinis dan mendapat izin edar.

Peneliti Ahli Madya Pusat Riset Biologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Indonesia Arif Nurkanto bersama timnya sedang mengembangkan obat baru untuk antimalaria.

Arif dan tim sudah mulai skrining antimalaria beberapa tahun terakhir. Jenis kandidat antimalaria yang dikembangkan mereka saat ini menggunakan mikroba kelompok actinomycetes dan fungi yang diperoleh dari keanekaragaman hayati Indonesia.

"Jika semua lancar dan riset berhasil, target selesai praklinik 2026 dan selesai uji klinik maksimal 2030," kata Arif.

Bersamaan dengan pengembangan obat antimalaria, dilakukan juga pengembangan obat antipenyakit tropis lain seperti antidengue, antituberkulosis dan antiamebiasis.

Menurut Arif, salah satu tantangan dalam upaya eliminasi malaria adalah tingkat resistensi malaria terhadap antimalaria makin tinggi sehingga obat yang ada menjadi tidak efektif. Oleh karenanya, penemuan obat baru akan memberikan dampak yang positif terhadap upaya pengendalian malaria.

Dalam pengembangan obat, keanekaragaman hayati Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dimanfaatkan karena menyimpan banyak bahan baku potensial. Namun, semua potensi itu harus ditemukan dan dikembangkan agar memberikan dampak besar bagi pengobatan penyakit termasuk untuk antimalaria.

Di samping itu, riset untuk penemuan obat memang tidak mudah dan membutuhkan dana yang tidak sedikit dan proses yang memakan waktu. Untuk sampai menjadi suatu obat yang teruji efektif dan aman, perlu melalui berbagai tahapan atau proses termasuk kegiatan penelitian dan pengembangan hingga uji praklinis dan klinis yang juga membutuhkan sejumlah dukungan antara lain pendanaan, sumber daya manusia yang terampil, sumber daya pendukung yang memadai.

Oleh karena itu, segala bentuk dukungan akan sangat berarti untuk mendukung upaya pencarian dan pengembangan kandidat obat dari pemanfaatan keanekaragaman hayati Indonesia termasuk menciptakan obat baru antimalaria yang akan sangat berguna untuk mempercepat pengobatan malaria di Tanah Air.

Baca juga: BPPT temukan 20 senyawa potensial untuk bahan baku obat antimalaria

Baca juga: Peneliti Pusat Riset Biologi: Program eliminasi malaria belum efektif

Baca juga: Daun kelapa sawit bisa dijadikan antimalaria tim mahasiswa Unimed

Baca juga: Unair Temukan Antimalaria Dari Sambiloto dan Cempedak


 

Editor: Andi Jauhary
Copyright © ANTARA 2021