RUU KUP bisa dikatakan mirip dengan 'omnibus law' yang berkaitan dengan masalah perpajakan.
Jakarta (ANTARA) -
Fraksi PKS DPR RI mengatakan bahwa Rancangan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (RUU KUP) harus mengarah pada kebijakan perpajakan yang berkeadilan.
 
Wakil Ketua Fraksi PKS DPR RI Bidang Ekonomi dan Keuangan Ecky Awal Mucharram mewakili sikap resmi Fraksi PKS di Jakarta, Selasa, mengatakan bahwa pihaknya tetap akan memperjuangkan kebijakan pajak yang berkeadilan dalam RUU KUP.

Sebagai contoh meningkatkan batas penghasilan tidak kena pajak (PTKP) dari penduduk berpenghasilan Rp4,5 juta menjadi Rp8 juta.
 
PKS juga mengusulkan dan memperjuangkan pemberlakuan penghasilan usaha/omzet tidak kena pajak (OTKP) dari wajib pajak usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM).
 
Besaran OTKP untuk UMKM sebesar Rp1 miliar setahun. Artinya, menurut dia, wajib pajak UMKM yang omzetnya di bawah Rp1 miliar tidak dikenakan pajak.
 
"Bagi kami, ini benar-benar menyentuh masyarakat kecil, mendorong konsumsi dan pertumbuhan ekonomi, serta memudahkan pengusaha UMKM untuk berkembang," kata Ecky
 
Ecky menegaskan bahwa Fraksi PKS mendukung kebijakan sustainable development goals (SDG) antara lain dengan upaya menurunkan tingkat emisi melalui usulan pajak karbon kepada perusahaan yang tidak ramah lingkungan. Namun, menolak pemberlakuan untuk wajib pajak orang pribadinya.
 
"Mengingat saat ini Indonesia masih dalam masa pemulihan ekonomi sehingga pajak karbon jangan sampai makin dirasakan, terutama oleh perorangan yang akan berdampak pada daya beli masyarakat," katanya.

Dalam konferensi pers mengenai RUU KUP,  dia mengatakan bahwa RUU KUP ini merupakan upaya pemerintah untuk mengharmonisasi ketentuan perpajakan yang sudah ada sebelumnya.

"RUU ini bisa dikatakan mirip dengan omnibus law yang berkaitan dengan masalah perpajakan," ucapnya.
 
Fraksi PKS menolak beberapa ketentuan baru perpajakan dalam RUU KUP. Misalnya, adanya rencana kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) bertahap sebesar 11 persen pada tahun 2022 dan 12 persen pada tahun berikutnya.
 
Di sisi lain, lanjut dia, pajak penghasilan (PPh) untuk badan/perusahaan akan dikurangi dari 25 persen menjadi 20 persen.

Ecky menilai kebijakan itu tidak adil karena akan melemahkan daya beli masyarakat dan mengganggu pemulihan ekonomi.
 
Ia menegaskan bahwa konsumsi rumah tangga masih menjadi penopang pertumbuhan ekonomi Indonesia.

"Kenaikan PPN ini akan melemahkan daya beli masyarakat yang akhirnya mengganggu pemulihan ekonomi. Di sisi lain, beban pajak perusahaan malah dikurangi, bagi kami ini tidak adil," katanya.
 
Fraksi PKS juga menolak adanya skema pengenaan PPN pada sejumlah barang atau jasa yang berkaitan dengan sembako, pendidikan, kesehatan, pelayanan sosial, dan pelayanan keagamaan.
 
Menurut Fraksi PKS, pengenaan pajak terhadap barang/jasa tersebut sama sekali tidak adil karena barang/jasa tersebut adalah hak konstitusional bagi seluruh rakyat Indonesia yang dijamin oleh UUD NRI Tahun 1945 dan perundang-undangan.

Hal yang sama juga berlaku pada rencana perluasan cukai, mengenai rencana cukai pada produk plastik, minuman berpemanis dan soda. Menurut Fraksi PKS, skema perluasan cukai akan menambah beban rakyat, apalagi di tengah pandemi COVID-19 saat ini.

Baca juga: Anggota DPR dukung pemerintah lawan penggelapan dan penghindaran pajak

Baca juga: Kemenkeu: Pemerintah dorong ekonomi hijau dengan RUU KUP

Pewarta: Boyke Ledy Watra
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021