Semarang (ANTARA) - Sejumlah pakar hukum memandang perlu pemerintah dan DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) menjadi undang-undang, asalkan memenuhi empat pendekatan dan pembahasannya melibatkan komponen masyarakat.

Demikian pendapat Ketua Prodi Doktor Hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. dan pakar hukum dari Universitas Islam Sultan Agung (Unissula) Semarang Dr. Jawade Hafidz, S.H., M.H. yang dirangkum ANTARA di Semarang, Kamis malam.

Sebelumnya, pengesahan RUU KUHP menjadi UU ini sempat mengalami penundaan sejak September 2019 terkait dengan demo mahasiswa yang menilai sejumlah pasal kontrovesial. Misalnya, dalam draf RUU KUHP Bab II Tindak Pidana terhadap Martabat Presiden dan Wakil Presiden, menghidupkan kembali pasal yang telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK).

Baca juga: Pakar ingatkan pidana umum dan khusus perlu diatur dalam RUU KUHP

Dalam putusan MK No. 013-022/PUU-IV/2006 dan No. 6/PUU-V/2007, MK mencabut Pasal 134, 136 bis, 137 dan Pasal 154-155 KUHP tentang penghinaan presiden dan pemerintah.

Pasal 217 RUU KUHP menyebutkan bahwa setiap orang yang menyerang diri Presiden atau Wakil Presiden yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana yang lebih berat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun.

Dalam Pasal 218 Ayat (1) RUU KUHP disebutkan bahwa setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak kategori IV (Rp200 juta).

Baca juga: Akademikus: Terlalu banyak aturan korupsi tak efektif penerapannya

Dalam Ayat (2) pasal yang sama disebutkan bahwa tidak merupakan penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) jika perbuatan dilakukan untuk kepentingan umum atau pembelaan diri.
Ketua Prodi Doktor Hukum Universitas Borobudur (Unbor) Jakarta Prof. Dr. H. Faisal Santiago, S.H., M.H. ANTARA/Dokumentasi Pribadi


Berikutnya, Pasal 219 RUU KUHP menyebutkan bahwa setiap orang yang menyiarkan, mempertunjukkan, atau menempelkan tulisan atau gambar sehingga terlihat oleh umum, memperdengarkan rekaman sehingga terdengar oleh umum, atau menyebarluaskan dengan sarana teknologi informasi yang berisi penyerangan kehormatan atau harkat dan martabat terhadap Presiden atau Wakil Presiden dengan maksud agar isinya diketahui atau lebih diketahui umum dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.

Menurut Jawade Hafidz, masalahnya bukan mendesak atau tidak, tetapi yang lebih penting adalah isi KUHP (baru) harus memenuhi empat pendekatan, yaitu historis, yuridis, sosiologis, dan kontekstual.

Baca juga: Pakar: Mengibarkan bendera kusam tak perlu diatur dalam RUU KUHP

"Ini penting agar dalam penerapannya mampu memenuhi rasa keadilan dan kemanfaatan hukum dalam masyarakat," kata dosen Fakultas Hukum Unissula Semarang ini.

Kalau bicara mendesak pengesahan RUU KUHP menjadi undang-undang, kata Prof. Faisal Santiago, sejak dirinya kuliah pada tahun 1988 rancangan undang-undang ini sudah ada.

Guru Besar Unbor ini memandang perlu RUU itu segera menjadi undang-undang. Namun, dengan catatan harus melibatkan komponen masyarakat untuk memberikan masukan.

Pewarta: D.Dj. Kliwantoro
Editor: Herry Soebanto
Copyright © ANTARA 2021