Harus ada kelompok dari 'investor primitif dan rakus' yang tersinggung dengan ungkapan Jumhur.
Jakarta (ANTARA) - Tuduhan adanya unsur kebencian pada cuitan Jumhur Hidayat di Twitter, yang menjadi sumber dakwaan jaksa pada sidang di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, sulit dibuktikan karena kata "kebencian" punya makna yang abstrak, kata ahli bahasa Universitas Pancasila Yamin.

"Kebencian sifatnya abstrak, tidak konkret," kata Yamin saat menjawab pertanyaan Koordinator Tim Kuasa Hukum Jumhur, Oky Wiratama, pada sidang di PN Jakarta Selatan, Jakarta, Senin.

Oleh karena itu, kata dia, untuk membuktikan secara pasti bahwa suatu pernyataan punya muatan kebencian, harus ada pihak tertentu yang menunjukkan keberatan atau tersinggung dengan ungkapan tersebut.

Terkait dengan cuitan Jumhur yang menyebut "investor primitif dan rakus", menurut ahli saat persidangan, harus ada kelompok dari "investor primitif dan rakus" yang tersinggung dengan ungkapan Jumhur.

"Yang tersinggung yang primitive investor saja, di luar itu (harusnya) tidak tersinggung," kata ahli menerangkan.

Berbeda dengan dua persidangan sebelumnya, penuntut umum pada sidang, Senin, menerima keterangan dari ahli bahasa yang dihadirkan oleh Tim Advokasi untuk Demokrasi (TAUD)—nama tim kuasa hukum Jumhur.

Baca juga: Kuasa hukum Jumhur: Keterangan ahli hukum ITE bantah dakwaan jaksa

Jaksa, dalam kesempatan itu, bertanya mengenai jenis pernyataan pada cuitan Jumhur, kemudian ahli menjawab bahwa ungkapan itu merupakan proposisi atau kalimat biasa yang tidak memuat makna negatif.

Jumhur Hidayat, petinggi Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI) sekaligus Wakil Ketua Umum Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI), telah didakwa oleh jaksa dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong yang menimbulkan kericuhan.

Jaksa dalam dakwaannya juga menuduh Jumhur berusaha menciptakan kebencian antargolongan pengusaha dan buruh lewat cuitannya di Twitter.

Terkait dengan dakwaan itu, Jumhur dijerat dua pasal alternatif, yaitu Pasal 14 Ayat (1) juncto Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 KUHP atau Pasal 45A Ayat (2) jo. Pasal 28 Ayat (2) UU No.19/2016 tentang Perubahan atas UU No.11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.

Dakwaan jaksa itu bersumber pada cuitan Jumhur di media sosial Twitter tertanggal 7 Oktober 2020. Isi cuitan itu, "UU ini memang utk PRIMITIVE INVESTORS dari RRC dan PENGUSAHA RAKUS. Kalau INVESTOR BERADAB ya seperti di bawah ini: 35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja. Klik untuk baca: kmp.im/AGA6m2”.

Dalam cuitannya, Jumhur turut mengutip tautan (link) berita yang disiarkan oleh Kompas.com berjudul "35 Investor Asing Nyatakan Keresahannya terhadap Pengesahan UU Cipta Kerja".

Namun, menurut keterangan Jumhur, yang kerap disampaikan pada berbagai kesempatan, cuitannya itu merupakan murni kritik terhadap pengesahan UU Omnibus Law Cipta Kerja.

Baca juga: Jaksa tolak keterangan ahli ITE dari kuasa hukum Jumhur Hidayat

Baca juga: Dua saksi fakta tegaskan demo tolak Omnibus Law tak diprovokasi Jumhur

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2021