Palu (ANTARA) - Dewan Pimpinan Wilayah (DPW) Partai Nasional Demokrat (NasDem) Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) menyatakan pemerintah daerah di Palu, Sigi dan Donggala (Pasigala) harus memenuhi hak-hak perempuan penyintas gempa, tsunami dan likuefaksi di pengungsian.

"Mengenai hak-hak perempuan penyintas bencana di lokasi pengungsian, memang masih menjadi soal dan pekerjaan rumah yang memerlukan perhatian khusus dari pemangku kepentingan," ucap Ketua DPW Partai NasDem Sulteng Atha Mahmud di Palu, Selasa, menanggapi momentum hari perempuan internasional.

Baca juga: Perempuan Indonesia memilih untuk tumbuh ditengah keterbatasan

Sebagian perempuan di Pasigala berhadapan dengan sejumlah masalah, saat mereka berada di lokasi pengungsian, dampak dari bencana gempa, tsunami dan likuefaksi memporakporandakan wilayah itu pada 28 September 2018, membuat warga harus mengungsi.

Masalah yang dihadapi, mulai dari kebutuhan dasar berupa tempat tinggal tetap dan permanen, air bersih, pangan. Belum lagi kebutuhan lainnya, seperti tempat menyusui, akses menuju tempat pelayanan kesehatan, sarana penerangan, dan MCK.

Atha Mahmud mengakui masalah yang dihadapi oleh perempuan penyintas bencana di pengungsian, bukan masalah baru, tetapi ada sejak pascabencana 28 September 2018, yang hingga kini belum terselesaikan.

Oleh karena itu, kata Atha, pemenuhan hak-hak perempuan penyintas bencana 28 September 2018 harusnya menjadi prioritas utama bagi pemerintah di daerah tersebut, dengan memberikan perhatian khusus kepada mereka.

"Bukan saja masalah pengabaian hak-hak mendasar kaum perempuan, tetapi juga nasib pengungsi secara umum. Momentum hari perempuan internasional ini, bersifat reflektif, menjadi cambuk agar pemenuhan hak-hak perempuan sebagai bagian dari tanggung jawab sosial dan konstitusi mesti negara tunaikan," ungkapnya.

Kondisi yang begitu sulit dihadapi oleh perempuan penyintas di lokasi pengungsian yang serba kekurangan, menambah kerentanan kekerasan yang membuat perempuan menjadi korban.

Para perempuan penyintas yang saat ini berada di lokasi pengungsian, rentan mengalami kasus kekerasan seksual secara fisik, bahkan rentan menjadi korban perdagangan orang.

Baca juga: Puan: Perempuan penentu kemajuan bangsa ke depan

Baca juga: Digitalisasi buka peluang berkarya dan semakin inklusif


"Soal-soal spesifik dan kasuistik semacam itu kadang terabaikan. Kekerasan fisik terhadap perempuan dan anak di tempat pengungsian memang memiliki peluang kondisi hidup yang riskan. Oleh karena itu, otoritas negara yang memikul tanggung jawab ini terus kita dorong untuk mengambil peran dalam memulihkan kondisi perempuan penyintas," ujarnya.

Karena itu, kata Atha, momentum hari perempuan tahun 2021 harus menjadi refleksi dan cambuk bagi pemerintah dan tokoh-tokoh perempuan, untuk mendesak percepatan pemenuhan hak-hak perempuan penyintas bencana.

"Karena hal itu merupakan tanggung jawab sosial pemerintah dan konstitusi negara yang harus ditunaikan," katanya.

Pewarta: Muhammad Hajiji
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021