Banjarmasin (ANTARA) - Anggota Tim Pakar Universitas Lambung Mangkurat (ULM) untuk Percepatan Penanganan COVID-19, Nasrullah mengingatkan petugas kesehatan dapat melakukan vaksinasi COVID-19 dengan cara humanis.

"Mari kita sukseskan vaksinasi COVID-19 secara humanis. Vaksinator secara penampilan tidak menimbulkan rasa takut, tapi justru membuat perasaan menjadi nyaman," kata Nasrullah di Banjarmasin, Minggu.

Nasrullah mengakui bahwa mengajak orang untuk sehat ternyata tidak mudah. Seperti ketika vaksinasi COVID-19 dilakukan, bisa jadi sebagian warga ada yang melakukan penolakan. Tantangan pemerintah adalah bagaimana masyarakat rela untuk divaksin.

Baca juga: Alasan lansia perlu rentang 28 hari untuk vaksinasi COVID-19 kedua

Namun perlu disadari, kata dia, ketika awal pandemi banyak yang tidak percaya, padahal tayangan kematian dan pemakaman tanpa dihadiri keluarga setiap hari ditampilkan di berbagai media, bahkan orang di sekitar ada yang terkena, tapi masih ada yang abai bahaya COVID-19 dengan tidak disiplin protokol kesehatan.

Menurut dia, penolakan vaksinasi sebenarnya bisa dilihat pada beberapa penyebab. Pertama, bukan karena vaksinasi, tapi warga memang takut disuntik, sehingga tanpa divaksin pun, mendengar akan disuntik menjadi ketakutan.

Hal itu sebenarnya faktor pola pikir yang jauh ditanam dalam benak manusia sejak kecil. Dokter dalam wujud orang berkaca mata apalagi, membawa tas tenteng, ada stetoskop melingkar di leher, jadilah ia sebagai sosok yang ditakuti.

"Maka sejak kecil kalau ada anak yang nakal diucapkan kalimat untuk menakut-nakuti awas ada dokter, nanti kamu disuntik," beber pakar antropologi masyarakat jebolan Universitas Gadjah Mada (UGM) itu.

Faktor kedua, memang karena tidak mau divaksin. Ini karena lebih dahulu mendapatkan informasi yang tidak berimbang, biasanya kabar hoaks yang juga berisi kecurigaan, ketakutan dan dampak buruk vaksin.

Bagian paling dasar adalah kemampuan literasi masih rendah, sehingga daya saring dan daya serap informasi yang akurat oleh sebagian masyarakat menjadi lemah.

"Maka, info manfaat atau uji coba vaksin yang telah dilakukan, sehingga layak untuk digunakan harus mampu meyakinkan masyarakat luas," paparnya.

Nasrullah menilai informasi terkait prosedur vaksinasi juga penting, sebab ada juga warga yang sebaliknya yang ingin segera divaksin. Kelompok ini perlu diakomodasi, setidaknya mereka mendapatkan kepastian jadwal divaksin.

Baca juga: Satu langkah setelah vaksinasi COVID-19

Baca juga: Hingga Sabtu, 2.552.265 orang sudah vaksinasi COVID-19 dosis pertama


Oleh karena itu, tambah dia, ancaman atau penjatuhan sanksi bukanlah utama. Sebab, tantangan penting adalah bagaimana sosialisasi yang persuasif mampu menyadarkan agar orang mau divaksin.

Sementara vaksinasi berlangsung, pemerintah harus terus menggencarkan sosialisasi. Orang-orang yang telah divaksin menjadi agen perubahan pola pikir warga bahwa suntik vaksin itu hanya perlu waktu sekian detik alias tidak sakit, aman dan halal.

Terlebih lagi jika yang divaksin dari kalangan tokoh agama, ulama, pendeta, sehingga mereka bisa menyampaikan kepada jamaah masing-masing berdasarkan pengalaman.

Pewarta: Firman
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2021