Kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing saat ini masih lemah
Jakarta (ANTARA) - Anggota Komisi IV DPR RI Slamet minta pemerintah perlu lebih memaksimalkan perlindungan bagi tenaga kerja Indonesia yang bekerja sebagai ABK di luar negeri atau pada kapal ikan asing.

Slamet dalam keterangan tertulis di Jakarta, Sabtu, menyoroti soal pemenuhan hak asasi manusia (HAM) bagi nelayan di Indonesia, khususnya yang bekerja sebagai ABK di kapal asing.

"Kewajiban negara untuk memberikan perlindungan kepada ABK Indonesia yang bekerja di kapal asing saat ini masih lemah," kata politisi Fraksi PKS itu.

Menurut Slamet, kelemahan perlindungan terhadap ABK Indonesia secara umum merupakan dampak dari regulasi yang berlaku saat ini, yang dinilai masih bersifat parsial atau dengan kata lain belum mengatur proses penempatan ABK asal Indonesia dari hulu ke hilir.

Untuk itu, ujar dia, sudah saatnya regulasi yang ada saat ini, yakni UU Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, UU Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran, dan UU Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia, dicermati dengan seksama.

Selain itu, lanjutnya, ada juga Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 35 Tahun 2015 tentang Sistem dan Sertifikasi Hak Asasi Manusia Pada Usaha Perikanan.

“Keberadaan tenaga kerja Indonesia yang bekerja di atas kapal perikanan asing selama ini telah memberikan manfaat yang banyak secara ekonomi,” kata Slamet.

Namun, ia mengingatkan masih banyak kasus ABK yang menjurus kepada praktik kerja paksa atau perbudakan dan tindak pidana perdagangan orang (TPPO).

Slamet memberi contoh, salah kasus yang mencuat tahun lalu adalah praktik kerja paksa ABK Indonesia di kapal perikanan Long Xing 629.

Ia juga mempertanyakan sejauh mana perkembangan dari kasus tersebut.

“Saya meminta untuk adanya tindakan hukum yang tegas terhadap pelaku TPPO ataupun pelaku perbudakan nelayan di atas kapal. Sehingga dapat memberikan efek jera bagi para pelaku,” katanya.

Slamet minta pemerintah untuk melakukan pemetaan terhadap perlindungan ABK di luar negeri.

Destructive Fishing Watch (DFW) sebagai pengelola Fishers Center menerima 40 pengaduan korban awak kapal perikanan Indonesia yang bekerja di kapal ikan dalam dan luar negeri dalam periode Januari-Desember 2020.

"Saat ini mayoritas pengaduan dilakukan oleh mereka yang bekerja di kapal ikan luar negeri atau pekerja perikanan migran," kata Koordinator Nasional Destructive Fishing Watch (DFW) Indonesia, Moh Abdi Suhufan.

Abdi Suhufan mengungkapkan, dari 40 pengaduan tersebut tercatat 103 korban awak kapal perikanan yang terjebak dalam praktik kerja yang tidak adil dan merugikan.

Baca juga: ABK Indonesia di luar negeri butuh perlindungan konkret

Baca juga: Pemerintah diminta lebih responsif terhadap pengaduan awak kapal ikan

Baca juga: Menaker: PP perlindungan awak kapal sudah selesai harmonisasi

Baca juga: Kemenko Marves dorong integrasi data untuk bantu perlindungan ABK

Pewarta: M Razi Rahman
Editor: Ahmad Buchori
Copyright © ANTARA 2021