Jakarta (ANTARA) - Direktur Jenderal Pembinaan Pengawasan Ketenagakerjaan dan Keselamatan dan Kesehatan Kerja Kementerian Ketenagakerjaan Haiyani Rumondang mengatakan milenial lebih menginginkan pasar tenaga kerja yang fleksibel.

"Milenial dan kelompok kerja baru merupakan kelompok yang dominan dalam pengangguran terbuka dan pekerja setengah menganggur, justru lebih menginginkan pasar tenaga kerja yang lebih fleksibel," ujar Haiyani dalam Sosialisasi UU Cipta Kerja yang diselenggarakan Forum Human Capital Indonesia (FHCI) di Jakarta, Kamis.

Berdasarkan data BPS pada Agustus 2019, pekerja tidak penuh dan pengangguran terbuka tersebut, sebanyak 56 persen berusia 15 hingga 24 tahun. Sementara pekerja tidak penuh, sebanyak 26 persen dari seluruh pekerja setengah mengganggu dan kelompok umur 55 tahun ke atas mengisi 29 persen pekerja paruh waktu.

Baca juga: Menaker kampanyekan gerakan pekerja sehat di perusahaan

Jumlah pengangguran terbuka tersebut 9,77 juta. Sementara bekerja tidak penuh atau sementara tidak penuh sebanyak 82,02 juta.

"Pengangguran terbuka di Indonesia, mayoritas adalah pekerja yang masuk ke pasar tenaga kerja dan juga pekerja dengan pendidikan tertinggi SMA. Mayoritas pekerja setengah menganggur merupakan pekerja yang masih di periode awal umur bekerja dan berbekal keterampilan yang lebih rendah atau SD," jelasnya dalam diskusi yang dimoderatori oleh Koordinator Bidang Komunikasi Publik FHCI Nina Kurnia Dewi itu.

Dia menjelaskan UU Cipta Kerja tersebut diperlukan untuk penciptaan dan perluasan lapangan kerja untuk menampung pekerja baru, serta mendorong pengembangan koperasi dan UMKM. Selain itu, untuk mendorong investasi yang berkualitas dan simplikasi dan harmonisasi regulasi serta perizinan.

"Dinamika perubahan ekonomi global, memerlukan respon cepat dan tepat. Tanpa adanya reformasi struktural, pertumbuhan ekonomi akan melambat."

Baca juga: Pemerhati: Sertifikasi kompetensi syarat tenaga kerja berdaya saing

Dengan adanya UU tersebut, maka diharapkan dapat memanfaatkan bonus demografi yang dimiliki saat ini dan dapat keluar dari negara berpenghasilan menengah. Dengan target peningkatan investasi sebesar 6,6 persen hingga 7 persen diharapkan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 5,7 persen hingga 6 persen.

Selanjutnya menjawab tantangan terbesar untuk mempertahankan dan menyediakan lapangan kerja, yakni penciptaan lapangan kerja sebanyak 2,7 juta hingga 3 juta per tahun.

"Penyederhanaan, sinkronisasi dan pemangkasan regulasi yang menghambat penciptaan lapangan kerja, sekaligus sebagai instrumen untuk penyederhanaan dan peningkatan efektivitas birokrasi," tambah dia.

Kemudian memberikan perlindungan dan kemudahan bagi UMKM dan koperasi, untuk bisa masuk ke sektor formal melalui kemudahan pendirian, perizinan dan pembinaan. Serta menciptakan lapangan kerja baru melalui peningkatan investasi dengan tetap meningkatkan perlindungan bagi pekerja.

Baca juga: Pengamat: UU Ciptaker ciptakan pasar tenaga kerja fleksibel

Dia menjelaskan selama ini, banyak disinformasi yang beredar mengenai UU tersebut sehingga menyebabkan terjadinya gejolak unjuk rasa. Padahal UU tersebut justru menguntungkan bagi sisi pekerja, karena memperhatikan aspek perlindungan pekerja. Seperti Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang hanya dibuat untuk pekerjaan tertentu dan tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang bersifat tetap dan pemberian uang kompensasi PKWT sesuai dengan masa kerja pekerja.

Dirjen menjelaskan jika UU Cipta Kerja tidak dilakukan maka akan terjadi lapangan kerja akan pindah ke negara lain yang lebih kompetitif, daya saing pencari kerja relatif rendah dibanding ke negara lain, penduduk yang tidak atau belum bekerja akan semakin tinggi, dan Indonesia akan terjebak dalam perangkap pendapatan menengah.

Deputi Bidang SDM dan TI Kementerian BUMN, Alex Denni, mengatakan UU tersebut bertujuan untuk menyediakan lapangan kerja sebanyak-banyaknya, mendukung pencegahan korupsi, mendukung UMKM, dan diharapkan membantu meningkatkan pertumbuhan ekonomi.

"Kita tahu pengesahan RUU ini menimbulkan reaksi dari berbagai kalangan. Namun ini semua karena adanya disinformasi dari substansi yang sebenarnya," kata Alex.

Alex berharap melalui sosialisasi para peserta mendapatkan informasi yang valid serta pemahaman substansinya yang utuh sehingga perusahaan BUMN dapat menjadi penyampai pesan dan penggagas dalam penerapan UU itu.*
 

Pewarta: Indriani
Editor: Triono Subagyo
Copyright © ANTARA 2020