Pengrajin bercita-cita membuat kampung keripik dan bisa memberdayakan ibu rumah tangga agar bisa mendapat penghasilan tambahan untuk keluarganya.
Jakarta (ANTARA) - Perang antara umat manusia melawan virus COVID-19, belum juga usai, bahkan di sisi lain ada yang baru memulai peperangan tersebut.

Menyerah bukanlah pilihan. Namun, perjuangan bukan hanya tentang pandemi, melainkan juga menyambug hidup.

Satu demi satu usaha dan bisnis tumbang, menelan korban-korban yang tak mampu lagi, bahkan untuk menyalakan api dapur. Di antara mereka yang menjadi dampak pandemi, semangat bertahan hidup menjadikan bara yang mampu menopang api dapur untuk berdikiri di kaki sendiri.

LIhat saja apa yang bisa dicapai beberapa perjuangan menyambung hidup, melalui tangan-tangan terampil sejumlah wanita bergerak lincah menyelesaikan pernak-pernik berbagai aksesoris kebutuhan rumah.

Karya mereka pun menjelma menjadi sebuah produk, seperti gorden, taplak meja, dan taplak kulkas yang indah. Di bagian lain, beberapa tampak tengah menyelesaikan pesanan masker dan baju hazmat.

Baca juga: Kerajinan masker asal Batang tembus pasar Malaysia

Seorang wanita paruh baya sesekali memantau untuk memastikan hasilnya sesuai dengan standar. Pada akhirnya aktivitas itu menjadi rutin di sebuah rumah sekaligus workshop konfeksi milik Asih Wijayanti di Jalan Pamugaran, Limbangan, Kelurahan Mertasinga, Kecamatan Cilacap Utara, Kabupaten Cilacap, binaan Pertamina Refinery Unit (RU) IV Cilacap.

Sudah 12 tahun, Asih, panggilan akrabnya, menekuni bisnis konfeksi. Kini Asih merasa lebih bersyukur lantaran apa yang ditekuninya dalam 12 tahun terakhir memberikan manfaat, tidak melulu keuntungan materi, tetapi juga mampu memberdayakaan warga lain untuk dapat meneruskan hidupnya dengan keterampilan sendiri.

"Alhamdulillah, yang lebih penting dari usaha yang berjalan dan keuntungan bahwa apa yang kita lakukan bisa membantu perekonomian tetangga dan warga sekitar. Itu kepuasan tak ternilai," ujarnya.

Terlebih pada masa pandemi saat ini, lanjut dia, hal ini sangat membantu perekonomian para karyawan. Memang, di awal pandemi sempat terjadi penurunan pendapatan sekitar 20 persen. Beruntung kondisi ini tidak berlangsung lama. Jumlah karyawan malah bertambah, dari 23 orang sekarang menjadi 26 orang.

Wanita 49 tahun ini bahkan tak pernah menyangka konfeksinya berkembang pesat. Ini karena sebelumnya Asih merupakan seorang karyawan perusahaan BUMN. Sebelumnya, dia tercatat sebagai karyawan di PT Pantja Niaga, sebuah BUMN yang kemudian merger dengan dua perusahaan lain menjadi Perusahaan Perdagangan Indonesia.

"Saya terkena PHK pada tahun 2005," ungkapnya.

Tak mau menyerah, Asih yang senang dengan keterampilan menjahit mulai belajar membuat kerajinan tangan seperti tas dan pernak-pernik rumah tangga. Dia belajar sendiri membuat tas.

"Caranya, tas yang sudah rusak saya bongkar, lalu saya perhatikan bagian-bagian di dalamnya apa saja dan dari situlah proses saya belajar," katanya.

Baca juga: Kemenperin dorong industri batik dan kerajinan manfaatkan teknologi

Usahanya mulai dikenal luas setelah pada  tahun 2010 mengikuti salah satu event, yaitu Pertamina Expo, Acara itu luar biasa animo pengunjungnya. Itu adalah salah satu expo yang selalu ditunggu masyarakat. Dia rutin mengikuti tiap tahun dengan biaya stan bayar sendiri. Pameran ini dimanfaatkannya untuk sebar kartu nama kepada pengunjung.

Dampaknya, produk kerajinan tangan Asih, terutama tas dengan brand AW, makin dikenal luas. Bahkan, beberapa kali dia dilibatkan dalam kegiatan pameran, baik di Indonesia maupun luar negeri, seperti Jepang dan Hong Kong.

Sejak setahun terakhir, Asih menjadi pelaku UKM binaan RU IV Cilacap melalui Program Kemitraan. Selain pinjaman lunak, Pertamina juga membantu pemasaran produk-produk AW, termasuk menjadikan produk pernak-perniknya menjadi rujukan dan salah satu kerajinan yang direkomendasikan.

Pada masa pandemi Covid-19 sempat memukul usahanya. Akibatnya, ribuan pesanan yang sudah siap kirim dibatalkan oleh konsumen. Namun, selalu ada harapan di tengah ketidakpastian.

Awal pandemi berdampak pada minimnya pasokan APD baju hazmat dan masker kain, memberi inspirasi bagi Asih. Dia pun berinsiatif membuat masker kain dan merancang baju hazmat bagi kebutuhan paramedis.

Ia menyebutkan banyak sekali pesanan baju hazmat, seperti dari Baznas 15.000, Pertamina pesan 5.000, Dompet Dhuafa pesan 5.000, termasuk Wisma Atlet Jakarta yang menjadi rumah sakit bagi panderita Covid-19 pesan 5.000 baju hazmat.

Saat ini, seiring dengan ketersediaan baju hazmat yang sudah mencukupi Asih kembali para produk-produk kerajinan tangan dan jenis apa pun sesuai dengan kebutuhan konsumen.

Masker kain masih tetap memproduksi, hazmat juga masih ada meski tidak sebanyak dahulu. Bahkan, pihaknya juga memproduksi aksesoris untuk sepeda yang saat ini sedang tren, termasuk masker khusus untuk pesepeda.

Baca juga: Pemilik kerajinan tangan asal Kediri raih UMKM berprestasi di Jatim


Banting Stir

Asih adalah salah satu cerita pantang menyerah yang membantu ekonomi sekitar. Cerita lain datang dari binaan yang mampu memanfaatkan perkembangan zaman di tengah krisis akibat pandemi covid-19.

Pemilik usaha N&N Internasional ini sudah menerapkan seluruh skema pembinaan UMKM dari berbagai rujukan hingga pemanfaatan teknologi. Kini dia dapat memetik buah manis dari usahanya tersebut. Namun, siapa sangka, perjalanan Nurchaeti menapaki bisnisnya tidak semudah membalikkan telapak tangan.

Awalnya dia adalah seorang Tenaga Kerja Indonesia (TKI) di Singapura, kemudian pada tahun 2013 memutuskan pulang ke Indonesia, lalu  buka usaha laundry. Tiga bulan pertama gagal total, hingga akhirnya bisa bertahan dan punya 6 cabang.

Dari pengalaman itu, semangat bisnis Nur kian membara. Berawal dari mengikuti pelatihan bisnis kuliner, Nur mendapatkan ilmu berharga terkait dengan bagaimana menentukan harga jual dan manajemen pemasaran. Dia pun terbesit untuk langsung terjun melakukan bisnis kuliner.

Awalnya, Nur mencoba memproduksi roti manis. Namun, karena kurang menguasai resep membuat adonan roti yang benar-benar pas, gagal pembuatan roti tersebut.

Nur lalu teringat bahwa almarhumah neneknya memiliki resep keripik pisang yang enak sekali. "Saat itu, saya kepikiran untuk memanfaatkan resep turun-temurun keluarga menjadi sebuah peluang bisnis," ucapnya.

Benar saja, dengan modal Rp100 ribu untuk membeli pisang tanduk dan bahan lain, bisnis Nur perlahan mulai gemilang. Hingga puncaknya di akhir tahun 2015, Nur bertemu dengan seorang distributor keripik di Brunei Darussalam di sebuah pameran.

Tertarik dengan produk Nur, mereka pun sepakat menjalin kerja sama untuk memasarkan produk Nur di Brunei. Alhasil, produk keripik pisang Nur pun booming di negeri tersebut.

Baca juga: BUMDes dukung kelangsungan usaha kerajinan di Lampung

Tidak hanya ke Brunei. Nur mengaku setiap 4 bulan sekali rutin mengekspor produk keripiknya ke berbagai negara. Tidak tanggung-tanggung, sekali pengiriman bisa mencapai 1 kontainer keripik. Dengan harga Rp10 ribu per kilogram, dia bisa meraup omzet Rp 500 juta hingga Rp 800 juta setiap pengiriman.

Jika ada lebih dari satu negara tujuan dalam sekali pengiriman, omzet yang didapat bisa lebih dari Rp1 miliar.

Seperti yang terjadi baru-baru ini, pada masa pandemi ini, dia tetap berjuang dan mampu mengirim 1 kontainer ke Dubai dan Qatar. Selain Qatar, produknya kini sudah sampai ke beberapa negara Eropa, seperti Prancis, Belgia, Jerman, dan Belanda.

Di negara Eropa tersebut, produk keripik apel yang menjadi primadona, sedangkan di Qatar, justru produk kerupuk jengkol yang menjadi idola.

Jika awalnya usaha rumahan, kini Nur sudah memiliki workshop di daerah Karawang, Jawa Barat. Di sana, dia memiliki sekitar 260 tenaga kerja untuk membantu produksi keripik miliknya. Dengan mengusung usaha berbasis sociopreneur, dia banyak menggunakan jasa para mantan TKI yang sudah lanjut usia, terutama dari kalangan ibu-ibu.

"Saya berkeinginan membuat kampung keripik dan bisa memberdayakan ibu rumah tangga agar bisa mendapat penghasilan tambahan untuk keluarganya," tuturnya.

Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020