nanti menghasilkan kemandirian mereka dalam menghadapi potensi bencana
Jakarta (ANTARA) - Ketua Lembaga Penanggulangan Bencana dan Perubahan Iklim Nahdlatul Ulama (LPBI NU) M. Ali Yusuf mengatakan para santri di Tanah Air harus bisa menjadi pelopor budaya sadar risiko bencana.

"Semua komponen masyarakat termasuk santri harus melakukan upaya yang sungguh-sungguh untuk melakukan pengelolaan risiko bencana," kata dia melalui keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu.

Di kalangan pesantren upaya tersebut dapat dilakukan melalui banyak cara misalnya melalui program Santri Siaga Bencana. Diawali dengan melakukan penilaian risiko, menyusun rencana aksi mitigasi dan kesiapsiagaan serta melaksanakannya.

Kemudian termasuk pula melakukan advokasi kebijakan, memperkuat koordinasi dengan berbagai pihak dan melakukan uji sistem dan mekanisme kesiapsiagaan melalui serangkaian simulasi. Proses dan tahapan tersebut harus terus menerus dilakukan secara berkesinambungan oleh santri dan pesantren jika ingin menumbuhkan budaya sadar risiko bencana.

"Jika budaya sadar risiko bencana sudah tumbuh dan kuat di kalangan santri, pada gilirannya nanti menghasilkan kemandirian mereka dalam menghadapi setiap potensi bencana dan krisis yang akan muncul termasuk pandemi COVID-19," katanya.

Ia menjelaskan ketangguhan menghadapi bencana secara singkat berarti kondisi di mana seseorang atau kelompok masyarakat mampu dengan potensi dan kapasitas yang dimilikinya mengurangi potensi risiko bencana.

Baca juga: ACT Yogyakarta ajak santri mengenal karakter bencana

Baca juga: LPBI NU serahkan bantuan pencuci tangan dan pengukur suhu untuk warga


Termasuk melakukan penanganan atau merespon saat terjadi bencana dan mampu cepat pulih setelah bencana serta dapat menjalani kehidupan yang lebih baik.

Ali berharap peringatan Hari Santri 2020 di tengah pandemi COVID-19 saat ini menjadi momentum bagi santri di seluruh Indonesia untuk menumbuhkan dan memperkuat budaya sadar risiko bencana menuju ketangguhan dalam menghadapi bencana.

Oleh karena itu, ujar dia, kesadaran publik tentang risiko bencana harus terus ditumbuhkan dengan cara memperkuat literasi kebencanaan dan meningkatkan kapasitas seluruh komponen masyarakat untuk dapat melakukan pengelolaan risiko bencana.

Menurutnya, saat ini budaya sadar risiko bencana masih menjadi pekerjaan rumah besar di Indonesia. Padahal, sadar risiko bencana harus menjadi gaya hidup. Banyak orang yang tidak tahu potensi risiko bencana yang ada di tempat dan daerahnya.

Ada juga yang sudah tahu risiko bencana tapi acuh terhadap situasi di daerah dan di sekelilingnya. Akibatnya, jika muncul ancaman bencana terjadilah kegagapan, kepanikan dan kesemrawutan.

"Di situasi pandemi COVID-19 saat ini, betapa banyak orang atau pihak yang belum sadar risiko yang akan dihadapi jika tidak melaksanakan protokol kesehatan," ujarnya.

Baca juga: LPBI NU raih penghargaan penanganan bencana dari BNPB

Baca juga: Relawan COVID-19 terima penghargaan dari LPBI NU

Pewarta: Muhammad Zulfikar
Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020