Tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan....
Jakarta (ANTARA) -
Anggota DPR RI Mukhamad Misbakhun meminta Mahkamah Konstitusi menolak permohonan uji materi atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi COVID-19.
 
"Alasannya, UU itu tidak menyalahi Undang-Undang Dasar (UUD) NRI Tahun 1945," kata Misbakhun saat menyampaikan tanggapannya secara virtual di sidang MK, Jakarta, Kamis.
 
Misbakhun yang juga anggota Fraksi Partai Golkar DPR RI, dalam siaran persnya, menyatakan bahwa para pemohon uji materi UU tersebut tidak memiliki legal standing.

Baca juga: MK nilai permintaan hadirkan DPD dalam sidang UU COVID-19 tidak urgen
 
Sebagai wakil dari pihak DPR, Misbakhun menegaskan bahwa penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 menjadi UU sudah melalui proses sesuai dengan ketentuan.
 
"Tidak jelas adanya kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional para pemohon terkait dengan pasal-pasal yang dimohonkan pengujian dan keberadaan hubungan sebab akibat (causal verband) antara dalil kerugian hak dan/atau kewenangan konstitusional," ujarnya.
 
Saat ini di MK ada tujuh gugatan atas UU Nomor 2 Tahun 2020. Terdapat puluhan tokoh yang masuk dalam deretan penggugat, antara lain Amien Rais, Din Syamsuddin, Adhie Massardi, Sri Edi Swasono, Abdullah Hehamahua, Irwan Sumule, Damai Hari Lubis, Munarman, Ismail Yusanto, Jumhur Hidayat, Marwan Batubara, dan M.S. Kaban.
 
Selain itu, ada pula badan hukum yang ikut menggugat UU Nomor 2 Tahun 2020, di antaranya ialah Pengurus Besar Pemuda Al-Irsyad, Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMM), Yayasan LBH Catur Bhakti, serta Yayasan Penguatan Partisipasi, Inisiatif, dan Kemitraan masyarakat Indonesia (YAPPIKA).

Baca juga: Sidang MK, Menkeu jelaskan tekanan pada perekonomian sejak PSBB
 
Misbakhun mengatakan bahwa pandemi COVID-19 merupakan pukulan yang sangat berat bagi masyarakat karena pandemi itu berdampak pada interaksi sosial dan ekonomi masyarakat.
 
Dampak dari pandemi COVID-19, kata dia, faktor produksi tidak jalan, sedangkan permintaan (demand) tetap ada. Kedalaman implikasi COVID-19 terhadap perekonomian sulit diukur karena puncak pandemi COVID-19 belum bisa dipastikan waktunya.

"Implikasi ekonomi yang ditimbulkan oleh COVID-19 terhadap perekonomian sangat dalam sehingga semua skenario perlu disiapkan untuk menghadapi situasi yang paling buruk," katanya.
 
Anggota Komisi XI DPR ini menambahkan bahwa pihak yang paling terdampak pandemi COVID-19 ialah pekerja harian atau pekerja lepas (informal) yang memenuhi biaya hidup mereka melalui aktivitas sehari-hari.
 
"Jika tidak keluar, mereka tidak dapat makan," tuturnya.

Baca juga: Sidang langsung, MK tegaskan perkara terkait Perppu COVID-19 urgen
 
Selain itu, pihak lain yang terdampak pandemi COVID-19 ialah para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dan kelompok kelas menengah. Oleh karena itu, kata Misbakhun, susah seharusnya negara hadir pada persoalan rakyatnya.
 
"Kehadiran negara sangat dibutuhkan, baik oleh jutaan rakyat jelata, pelaku UMKM, masyarakat kelas menengah, maupun masyarakat kelas, sehingga negara tidak boleh membeda-bedakan," katanya menegaskan.
 
Lebih lanjut Misbakhun mengatakan bahwa pemerintah harus memanfaatkan ruang ketatanegaraan yang tersedia untuk mengatasi situasi tersebut. Pasalnya, UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mempunyai keterbatasan.
 
Untuk memulihkan perekonomian akibat COVID-19, kata Misbakhun, pemerintah perlu dana guna membiayai program-program yang telah ditentukan. Satu-satunya cara pemerintah harus berutang jika saldo anggaran lebih (SAL) dan dana lainnya tidak mencukupi.
 
Menurut Misbakhun, utang bukanlah tujuan, melainkan hanya sebagai cara agar dapat keluar dari masalah ini.
 
"Hal yang utama bukan negara berutang, melainkan utang tersebut dimanfaatkan seperti menolong rakyat jelata," kata mantan pegawai Direktorat Jenderal Pajak itu.

Baca juga: Komnas HAM usul penerbitan perpu untuk tanggulangi COVID-19
 
Misbakhun juga menepis soal dalil pemohon tentang pembahasan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tidak melibatkan Dewan Perwakilan Daerah (DPD).
 
Menurut dia, keikutsertaan DPD dalam pembahasan rancangan undang-undang (RUU) hanya untuk yang berkaitan dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta perimbangan keuangan pusat dan daerah.
 
Adapun RUU tentang Penetapan Perpu Nomor 1 Tahun 2020, kata Misbakhun, bukan domain DPD.
 
"RUU Penetapan Perpu 1/2020 menjadi UU bukan merupakan usulan DPD sehingga DPD tidak memiliki kewenangan untuk membahas RUU tersebut," katanya.
 
Oleh karena itu, Misbakhun pada bagian petitum meminta MK menolak seluruh permohonan para pemohon.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020