Jakarta (Antara) - Pertengahan Oktober 2014 lalu, saya mengikuti 37 ASEAN Young Leaders Training Program di Nanning, Guangxi selama hampir satu bulan. Beberapa hari menjelang kepulangan, kita diajak keliling kota-kota di Tiongkok bagian selatan. Satu di antaranya adalah Shenzen. Dengan rute Guangxi-Guangzhou-Shenzhen. Jarak Guangxi ke Guangzhou sekitar 553 KM, dari Guangzhou ke Shenzhen sekitar 142 KM. Bayangan saya, Tiongkok itu kumuh, toilet-toiletnya terbuka tanpa pintu. Jika di tahun 80an, satu batang sabun harus dibagi dua dengan anggota keluarga atau teman yang lain, sekarang tidak seperti itu; tidak lagi miskin dan kampungan. Kota-kota dan sungainya sangat bersih. Gedung pencakar langit tidak terhitung. Moda transportasinya pun sangat canggih.  

Kota Shenzen mulai dibangun pada 26 Agustus 1980. Artinya, ia baru saja merayakan ulang tahunnya yang ke-40. Dalam empat dekade, kota ini mekar menjadi kota kosmopolit digital, the Silicon Valley of Asia. Kota modern ini dibangun di lokasi wilayah nelayan yang kumuh. Kalau melihat foto-fotonya sebelum tahun 1980 (sebelum reformasi kota), maka Shenzen hanyalah semacam desa besar. Semuanya berubah 180 derajat, menjadi mega city, berkat pemimpin dan manajemen yang hebat.

Dengan proses perubahan modernisasi yang begitu cepat, sudah tentu GDP kota ini meningkat cepat. Peningkatan GDP dari tahun 1980 sampai sekarang diperkirakan 10.000 kali lipat. Kota ini tidak lagi diberi subsidi oleh pemerintah. Sehingga harga barang lebih mahal jika dibanding dengan Nanning dan kota-kota lain di wilayah selatan. Harga disesuaikan dengan tingkat pertumbuhan ekonomi. Yang tidak siap bersaing, tidak memiliki pola pikir maju, tidak akan mampu bertahan di kota ini. Yang siap tinggal di sini hanya yang memiliki kreativitas dan semangat hidup tinggi. Bagi yang hidupnya masih bergantung pada subsidi, pemerintah Tiongkok juga sudah menyediakan wilayah lain yang sesuai dengan kapasitas mereka. Mentalitas penduduk Shenzhen sangat hebat, patut ditiru. Shenzhen awalnya mencontoh pengembangan kota Batam. Tapi sekarang melebihi Batam, bahkan Jakarta sekalipun, meskipun Shenzhen bukanlah ibu kota, ia hanya sub-kota dari provinsi Guangdong.

Kota ini, pada waktu awal dibangun juga sempat terhenti. Pemerintah pusat sudah berinvestasi banyak, namun tetap tidak bisa sejajar dengan Hong Kong. Investasi menjadi sia-sia. Akhirnya pemerintah memutuskan untuk menunjuk BUMN Singapura (tahun 1989) sebagai pengelola dan sekaligus konsultan pengembangan Shenzen sebagai FTZ (Free Trade Zone). Dalam waktu yang singkat, Shenzen sudah mengalahkan Singapura dan Hong Kong. Deng Xiaoping adalah pemimpin yang cerdas, ia memilih mendatangkan orang Singapura yang telah terbukti berhasil mengubah Singapura menjadi kota maju kelas dunia. Baginya, transfer pengetahuan yang dilakukan di negeri sendiri akan lebih mudah ketimbang mengutus orang Tiongkok belajar ke negeri Singa untuk kemudian diterapkan di Tiongkok. Singapura hanya diberi hak 10 tahun untuk mengelola, selanjutnya, pengelolaan sepenuhnya diambil-alih kembali oleh otoritas Tiongkok.

Saat Shenzhen menjadi kota kosmopolitan, perubahan sosial terjadi dengan sendirinya di sana. Tidak ada lagi orang berjalan dengan baju lusuh sambil telanjang dada, meludah di jalan, atau buang air di pinggir sungai. Tidak ditemukan rumah di pinggir rel kereta. Tidak ada lagi naik bus berdesakan. Kini mereka berpakaian modern ala Barat. Tinggal di apartemen yang bersih dengan sanitasi terjamin. Memiliki sarana publik tercanggih. Kendaraan roda dua di jalan-jalan utama digantikan dengan MRT berkelas dunia. Gaya hidup mereka yang tadinya statis kini menjadi sangat dinamis dan kreatif. Jika kota berubah, mental juga berubah, rekayasa sosial pun ikut berubah. Kehidupan menjadi lebih baik, lebih sejahtera.

Semoga masyarakat Indonesia tidak terus terjebak polarisasi akibat peristiwa-peristiwa politik domestik. Selalu ribut untuk sesuatu yang tidak terlalu penting. Negara lain sudah melaju cepat, sementara kita jalan di tempat. Shenzen tumbuh dengan pesat mengalahkan Singapura, Hong Kong, Boston, apalagi Batam. Padahal, Shenzhen itu do and don’t mencontoh pengembangan Batam saat itu. Kita sering jago membuat terobosan baru, tapi soal keberlanjutan dan kerjasama antar kementerian ataupun lembaga masih lemah. Kita masih harus banyak belajar dan harus berani introspeksi diri. Berhasilnya di mana, gagalnya di mana, lalu kita perbaiki bersama. Betul, dulu mereka belajar dari kita. Sekarang, tidak ada salahnya jika kita belajar dengan mereka. Shenzhen bisa kita jadikan teladan untuk tata kelola dan model pengembangan kota-kota modern yang ideal di Indonesia. Kota masa depan tidak bisa dibangun dengan narasi atau kata, apalagi dengan populisme atas nama agama.

Penulis adalah intelektual muda NU, Wakil Sekjen PERHATI, Anggota Badan Arbitrase Syariah Nasional, Anggota Komisi Hubungan Luar Negeri & Kerjasama Internasional MUI Provinsi Banten

Pewarta: Sukron Makmun
Editor: PR Wire
Copyright © ANTARA 2020