Jakarta (ANTARA) - Indonesia harus mengubah paradigma untuk menjaga dan merestorasi gambut agar tidak berakhir seperti negara di Eropa yang kehilangan fungsi gambutnya karena pengeringan terus menerus, kata pakar gambut dan paleoekologi Prof Dr. Dr. h.c. Hans Joosten.

"Ada satu hal yang harus diingat bahwa tidak ada lahan gambut kering yang berkelanjutan," kata akademisi dari Universitas Greifswald di Jerman itu dalam diskusi Badan Restorasi Gambut (BRG) yang dipantau dari Jakarta, Selasa.

Gambut haruslah basah atau berubah menjadi bukan lahan gambut lagi karena teroksidasi yang dapat menimbulkan emisi karbon dioksida.

Baca juga: Pakar: Paludikultur bisa jadi solusi produksi dan konservasi gambut

Baca juga: BRG perkuat ekonomi melalui pengembangan industri desa gambut


Prof Hans memberikan contoh bagaimana Belanda memiliki sekitar 1,5 juta hektare lahan gambut sebelum pengeringan terus-menerus membuat lahan yang tersisa hanya sekitar 200.000 hektare. Selain itu, pengeringan lahan gambut secara konstan juga menjadi salah satu penyebab negara kincir angin itu mengalami penurunan lahan atau subsidence.

Menghilangnya gambut sub-tropis dan menurunnya tingkat ketinggian tanah itu telah mengubah paradigma di Belanda. Ketika mereka tidak bisa mengolah tanaman lagi di lahan tersebut, mereka mulai mengandalkan tumbuhan yang bisa bertahan di musim dingin seperti rerumputan yang berguna untuk peternakan.

Itu adalah salah satu alasan mengapa produksi keju dan susu berkembang di sana, ujar dia.

"Itu adalah adaptasi dari perubahan kondisi gambut yang mengubah seluruh ekonomi. Langkah selanjutnya karena padang rumput sekarang mulai tergenang, kini mereka harus mengubah paradigma lagi," tuturnya.

Kebutuhan akan perubahan paradigma untuk mempertahankan lahan gambut itu juga dikatakan oleh Deputi Bidang Penelitian dan Pengembangan BRG Dr Haris Gunawan.

Baca juga: BRG lakukan empat tahapan pulihkan ekosistem gambut

Ia menyayangkan selama beberapa saat para pemangku kepentingan tidak mengembangkan ekosistem yang berkelanjutan dalam mengoptimalkan sumber daya alam.

"Tentu saja kita butuh waktu, inovasi dan terobosan untuk mengubah cara mengembangkan gambut yang selama ini dilakukan," kata Haris.

Mendengar penjelasan Prof Hans Joosten tentang kondisi gambut di Eropa, Haris berharap tidak harus menunggu sampai lingkungan berubah untuk mendorong perubahan paradigma di Indonesia.

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Endang Sukarelawati
Copyright © ANTARA 2020