Mataram (ANTARA) - Warga enam desa di kaki Gunung Rinjani, Kecamatan Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, masih membuang sampah di sungai dan kawasan pinggir hutan lindung karena belum ada fasilitas memadai yang disediakan pemerintah daerah setempat.

Camat Sembalun, M Zaidar Rahman, mengakui bahwa warga desa masih memanfaatkan sungai sebagai tempat membuang sampah karena belum ada sarana dan prasarana yang memadai, baik tempat pembuangan sementara maupun tempat pembuangan akhir.

"Persoalan sampah memang menjadi tanggung jawab semua pihak, bukan tugas pemerintah saja. Kita bangun sarana prasarana dari dana desa itu saja tidak cukup. Butuh kesadaran semua pihak," katanya dalam acara perempuan berbincang di Sembalun, Kabupaten Lombok Timur, Selasa.

Acara perempuan berbincang yang digelar oleh Komunitas Perempuan Sembalun Belajar tersebut mengangkat tema "Sembalun Darurat Sampah dan Darurat Air".

Baca juga: Siska Nirmala, berpetualang menyebarkan "racun" anti sampah

Baca juga: Warga sekitar Gunung Rinjani Lombok tanam 10.000 beringin


Kepala Desa Sembalun Bumbung, Sunardi, juga mengakui bahwa sebanyak enam desa di Kecamatan Sembalun, menghadapi persoalan sampah, khususnya di Desa Sembalun Bumbung.

Ia menyebutkan volume sampah yang dihasilkan oleh warga Desa Sembalun Bumbung, sekitar 5.000 kilogram per hari, baik sampah organik maupun anorganik berupa plastik. Semua sampah tersebut dibuang sembarangan, baik di sungai maupun di pinggir kawasan hutan.

"Kami sudah mencoba untuk menggalakkan program Olah Sampah Tuntas (Osamtu), dan sekarang sedang berjalan di tingkat rumah tangga," ujarnya.

Pendiri Komunitas Perempuan Sembalun Belajar, Baiq Sri Mulya, juga mengakui bahwa Kecamatan Sembalun sebagai destinasi wisata dan pintu masuk pendakian Gunung Rinjani, sudah masuk kategori darurat sampah. Sebab, perhatian terhadap infrastruktur dasar, seperti manajemen sampah sangat kurang.

"Sungai, hutan, pinggir jalan, selokan dan jembatan, rumpun bambu bahkan tanah lapang dijadikan sebagai tempat pembuangan," ucap Baiq.

Ia juga mengkritisi program-program yang telah dijalankan, seperti Bank Sampah di Desa Sembalun, dan TPST3R di Desa Sembalun Bumbung, meskipun sudah dibangun dengan konsep yang luar biasa bagus, tetapi tidak bisa menjadi solusi karena besarnya faktor kegagalan.

Menurut Baiq, perempuan sebagai pemangku urusan domestik keluarga adalah kelompok masyarakat yang paling merasakan dampak dari Sembalun darurat sampah. Sebab, tidak ada solusi dan edukasi pun kurang berarti.

"Melalui pertemuan perempuan berbincang ini, kami berharap ada solusi terbaik yang ditawarkan kepada masyarakat Sembalun, khususnya kaum perempuan agar bagaimana sampah yang selalu dianggap negatif bisa menjadi sesuatu yang positif dengan cara diolah," katanya.*

Baca juga: BNI kucurkan KUR Rp47,5 miliar untuk petani bawang putih di NTB

Baca juga: PLN bantu kembalikan kejayaan kopi Sembalun NTB

Pewarta: Awaludin
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020