Jakarta (ANTARA) - Indonesia harus berupaya mengamankan ketahanan air karena menjadi salah satu negara yang terancam menghadapi risiko kelangkaan (water stress), kata Profesor Ignasius Dwi Atmana Sutapa dari Pusat Penelitian Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI).

"Prediksi ini disampaikan sebelum masa COVID-19 bahwa Asia Pasifik termasuk Indonesia akan menghadapi water stress setidaknya-tidaknya sampai tahun 2040," kata Profesor Ignasius dalam diskusi virtual LIPI yang dipantai di Jakarta pada Kamis.

Permasalahan air sudah menghantui kawasan Asia Pasifik termasuk Indonesia sebelum adanya COVID-19. Beberapa isu itu adalah polusi air, peluang konflik karena air bersih, kekeringan dan banjir, kurangnya air bersih dan sanitasi serta berkurangnya biodiversitas. Persoalan-persoalan itu juga semakin diperparah dengan adanya perubahan iklim.

Menurut riset World Resources Institutes (WRI) dan Aqueduct, Indonesia masuk dalam kategori tinggi untuk permasalahan kelangkaan air, apabila tidak dilakukan upaya untuk ketahanan air. Indonesia juga masuk dalam lima besar konsumen air global dengan paling banyak digunakan untuk pertanian.

Baca juga: Pemerintah pusat alokasikan Rp168 miliar sarana air bersih di Kupang

Baca juga: Pasokan air bersih terganggu akibat pipa Palyja bocor di Meruya


Indonesia, kata Executive Director of Asia Pacific Centre for Ecohydrology (APCE) - UNESCO Category II Centre itu, berada dalam kategori rentan bila tidak dilakukan upaya-upaya signifikan untuk mengamankannya.

Pandemi COVID-19 memberikan dampak kepada tindakan manusia, penyesuaian konsumsi dan tingkat prioritas, termasuk terkait air. Menurut Ignasius, terjadi penurunan volume konsumsi air minuman dalam kemasan saat pandemi.

Meski demikian, dia mengatakan keterbatasan aktivitas di berbagai negara akibat pandemi memberikan sedikit dampak positif dengan meningkatkan kualitas air di beberapa wilayah.

"Air, ke depan bukan hanya menjadi resources tapi juga aset penting karena air berkaitan dengan pangan juga energi," kata dia.

Dia juga meminta agar cara pandang akan air harus berubah untuk ke depannya.

Pemerintah sendiri menyadari pentingnya permasalahan air dengan mengeluarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air, menghadapi ketidakseimbangan antara ketersediaan air yang memiliki tren berkurang dan kebutuhan yang meningkat akan air.

Untuk itu dia menyarankan pendekatan ekohidrologi yang mengintegrasikan antara hidrologi, ekologi, ekoteknologi dan budaya.

"Itu harus dimanfaatkan, disinergikan untuk mengelola. Karena mengelola sumber daya tidak bisa lagi misalnya terpisah-pisah, tapi terintegrasi," kata Profesor Sutapa.*

Baca juga: Kementerian PUPR salurkan air bersih untuk korban banjir Gorontalo

Baca juga: MCK-sarana air bersih dibangun PMI di penampungan Muslim Rohingya Aceh

Pewarta: Prisca Triferna Violleta
Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020