Surabaya (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Surabaya menangkap adanya pembelokan fakta dalam persidangan kasus gratifikasi senilai Rp720 juta dalam proyek "Surabaya Sport Center" (SSC) dan "Bus Rapid Transit" (BRT) sehingga empat terdakwa dari Pemerintah Kota (Pemkot) Surabaya dan DPRD Surabaya diputus bebas.

"Sebenarnya kasus itu adalah perkara gratifikasi, tapi fakta itu tidak diungkap di persidangan sehingga yang muncul adalah perkara japung (jasa pungutan) pajak," kata Abdul Fatah dari Divisi Hukum dan Kebijakan LBH Surabaya, Minggu.

Menurut dia, dugaan awal materi perkara itu adalah gratifikasi, namun kemudian fakta di persidangan yang muncul adalah japung. "Ditambah lagi majelis hakim sama sekali tidak menjadikan keterangan saksi ahli dari UGM (Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta) dan Unibraw (Universitas Brawijaya, Malang) serta BPKP (Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan) sebagai pertimbangan dalam memutus perkara itu," katanya.

Hal itu berbeda dengan keterangan saksi ahli yang diajukan penasihat hukum keempat terdakwa, justru dijadikan pertimbangan oleh majelis hakim dalam memutus perkara tersebut.

"Saksi ahli yang diajukan jaksa mengatakan, penerimaan dana tersebut bermasalah karena ada beberapa anggota dewan yang mengembalikannya, sedangkan saksi ahli yang diajukan penasihat hukum tidak mempersoalkan penerimaan dana itu karena sudah menjadi hak anggota dewan menerima japung sebagaimana diatur dalam Peraturan Wali Kota Surabaya Nomor 44 Tahun 2009," katanya.

Meskipun menjadi kewenangan majelis hakim dalam memutus perkara, menurut Fatah pertimbangan-pertimbangan itu tidak memenuhi kepatutan dalam ranah keadilan sosial bagi masyarakat.

Selama mengamati jalannya persidangan perkara tersebut, dia mencatat ada tiga aspek yang tidak diperhatikan oleh majelis hakim, yakni aspek materiil berupa pembelokan fakta dari gratifikasi menjadi japung, aspek formil yang tidak sesuai dengan KUHAP lantaran sidang sering kali digelar tidak tepat waktu, dan aspek perilaku hakim.

"Pada sidang dengan agenda pembacaan tuntutan untuk terdakwa Musyafak Rouf, Ketua Majelis Hakim Ali Maki dan anggota Majelis Hakim Sutriadi Yahya tertidur. Itu kasus publik yang seharusnya menjadi perhatian utama, bukan malah tidur saat memimpin sidang," katanya mengenai peristiwa yang terjadi pada 30 September 2009 itu.

Selain itu, LBH juga menyoroti surat dakwaan jaksa penuntut umum yang hanya mendakwa mendakwa dengan Pasal 2, 3, 12, 18 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui menjadi Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) kesatu KUHP.

"Kalau mendakwa dengan pasal itu, harusnya jaksa tetap fokus pada masalah gratifikasi dan korupsi, bukan malah mengikuti materi perkara yang mengarah ke japung. Tentu pasal itu tidak mempan," kata Fatah.

Sebelumnya majelis hakim memutus bebas empat terdakwa kasus gratifikasi, yakni Musyafak Rouf (Ketua DPRD Kota Surabaya periode 2004-2009), Soekamto Hadi (Sekkota Surabaya), Mukhlas Udin (Asisten II Sekkota Surabaya), dan Purwito (Kabag Keuangan Pemkot Surabaya).

Kasus yang terjadi pada Oktober-November 2007 itu bermula dari percakapan melalui telepon antara Musyafak Rouf dan Mukhlas Udin. Musyafak menanyakan pencairan tunjangan hari raya (THR) untuk anggota dewan.

Kemudian oleh Mukhlas Udin persoalan tersebut dikonsultasikan kepada Wali Kota Surabaya, Bambang D.H. dan Sekkota Surabaya Soekamto Hadi. Setelah itu dana sebesar Rp720 juta itu diserahkan kepada Musyafak dalam dua tahap.

Pencairan dana itu dilakukan setelah DPRD Kota Surabaya mengesahkan APBD Tahun 2007 yang di dalamnya terdapat proyek SSC dan BRT. Sebagian anggota DPRD Kota Surabaya menolak pemberian dana oleh Musyafak yang tidak disertai dengan tanda terima itu, sebagian lagi melaporkan persoalan itu ke Polda Jatim.(*)

Pewarta:
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2009