Ada pihak-pihak yang secara sengaja hendak menggunakan agama sebagai alat politik yang memecah belah dengan cara mengembuskan fitnah dan provokasi.
Jakarta (ANTARA) - Ketua Baitul Muslimin Indonesia (Bamusi) Zuhairi Misrawi menyatakan ada kesalahpahaman yang sedang terjadi dengan konsep ketuhanan yang berkebudayaan dengan menuding menghapus sila Ketuhanan Yang Maha Esa pada Pancasila.

"Ironisnya, soal ketuhanan ini justru dijadikan alat untuk memecah belah," kata Zuhairi dalam keterangan tertulisnya di Jakarta, Rabu, menanggapi masifnya pernyataan sejumlah pihak di media massa maupun media sosial belakangan ini.

Menurut politikus PDI Perjuangan ini, mereka berupaya secara sistematis, masif, dan terstruktur menyebarluaskan informasi yang menyesatkan dan menebarkan fitnah terhadap khazanah pemikiran Bung Karno.

Baca juga: Bamusi sebut ada berkah di balik polemik RUU HIP

"Mereka ingin mengaburkan pemikiran dan jasa Bung Karno dalam menggali Pancasila. Padahal, Bung Karno dalam Pidato Pancasila 1 Juni 1945 menegaskan pentingnya Ketuhanan Yang Maha Esa," kata pria yang biasa disapa Gus Mis ini.

Untuk memahami ketuhanan yang berkebudayaan, dia menjelaskan bahwa Bung Karno menyatakan bangsa Indonesia bukan saja bertuhan, melainkan masing-masing orang Indonesia hendaknya bertuhan dengan Tuhannya sendiri.

Bung Karno juga menyatakan, "Yang Muslim bertuhan menurut petunjuk Nabi Muhammad saw. Yang Kristen menyembah Tuhan menurut petunjuk Isa al-Masih. Yang Buddha menjalankan ibadatnya menurut kitab-kitab yang ada pada mereka, dan begitu seterusnya agama-agama yang lain."

"Marilah kita semuanya bertuhan. Hendaknya negara Indonesia adalah negara yang tiap-tiap orangnya dapat menyembah Tuhannya dengan cara yang leluasa," kata Bung Karno yang dikutip Gus Mis.

Baca juga: Bamusi tegaskan PDI Perjuangan bukan komunis

Dengan pernyataan itu, lanjut Gus Mis, Bung Karno hendak menegaskan bahwa Indonesia bukan negara sekuler dan tidak akan pernah menjadi negara sekuler karena dengan Ketuhanan Yang Maha Esa, hakikatnya setiap warga bertuhan.

"Karena bertuhan, kita sejatinya mempunyai budi pekerti yang luhur, saling menghormati, saling menghargai, tidak egois, dan tidak pula fanatik. Cara bertuhan yang seperti itu, menurut Bung Karno disebut ketuhanan yang berkebudayaan," katanya menegaskan.

Dalam konteks itu pula, lanjut budayawan Nahdatul Ulama (NU) itu, umat Islam harus menjadi penggerak kemajuan dengan terus membangun harmoni di antara sesama, menumbuhkan cinta Tanah Air, dan mengejar ketertinggalan dengan cara mengembangkan ilmu pengetahuan.

"Apa yang ditunjukkan oleh NU dan Muhammadiyah dalam mendorong harmoni, memperkuat solidaritas kebangsaan, dan mengembangkan ilmu pengetahuan selaras dengan cita-cita dan mimpi Bung Karno," ujarnya.

Baca juga: Bamusi ingatkan bangsa Indonesia untuk "tabayun"

Oleh karena itu, dia menyayangkan jika belakangan ini ekspresi keagamaan di ruang publik hanya dijadikan sebagai instrumen politik yang memecah belah tali kebangsaan yang selama ini solid dan kukuh.

"Ada pihak-pihak yang secara sengaja hendak menggunakan agama sebagai alat politik yang memecah belah dengan cara mengembuskan fitnah dan provokasi yang tidak bertanggung jawab. Ini tentunya sangat disayangkan karena sangat jauh dari esensi Ketuhanan Yang Mah Esa," kata lulusan Universitas al-Azhar, Kairo, Mesir itu.

Pewarta: Syaiful Hakim
Editor: D.Dj. Kliwantoro
Copyright © ANTARA 2020