Jika kita lihat industri lain, mereka punya kantor (perwakilan) di Brussels, bahkan mereka punya representatif yang bertugas melakukan kampanye secara berkala
Jakarta (ANTARA) - Indonesia perlu memberi informasi berimbang mengenai kelapa sawit di forum dunia dan kepada organisasi internasional, khususnya di negara-negara Eropa, guna menandingi kampanye antisawit yang gencar disampaikan kompetitor dan lembaga nonpemerintah baik dari dalam dan luar negeri.

Pernyataan itu merupakan salah satu hasil seminar virtual bertajuk "Indonesia menanggapi isu kesehatan kelapa sawit di tengah COVID-19" yang diadakan #INAPalmOil di Jakarta, Rabu. #INAPalmOil merupakan program dari forum komunikasi kelapa sawit di Indonesia.

"Ada ketidakseimbangan dalam konteks kampanye  mengenai kelapa sawit. Kegiatan yang kita lakukan jumlahnya banyak, tetapi nilainya sedikit. Saya bandingkan dengan Avril Group. Dana kampanye anti-sawitnya 75 juta dolar AS (sekitar Rp1,102 triliun) per tahun. Itu jumlah yang besar," kata Duta Besar Indonesia untuk Jerman, Arif Havas Oegroseno pada sesi seminar.

Avril Group merupakan perusahaan agro-industri asal Prancis yang menghasilkan  produk pangan, energi terbarukan, produk kimiawi terbarukan, dan beberapa produk minyak sayur.

Baca juga: DMSI berharap WHO tak kampanye negatif sawit
Baca juga: DPR sesalkan saat wabah COVID-19 masih marak kampanye negatif sawit


Menurut Arif, salah satu pembicara seminar, Indonesia menghadapi konglomerasi yang didukung oleh modal besar dalam membentuk persepsi buruk masyarakat mengenai kelapa sawit.

"Kita menghadapi struktur dengan big money (modal besar), apalagi angka subsidi pertanian di Uni Eropa 85 persen dari total anggaran. Bayangkan, yang kita hadapi giant (konglomerasi)," terang dia.

Arif menyampaikan ia terlibat dalam diplomasi kelapa sawit sejak 2010, yaitu saat dirinya ditunjuk sebagai Duta Besar Luar Biasa dan Berkuasa Penuh (LBPP) Republik Indonesia untuk Belgia, Luksemburg, dan Uni Eropa. Selepas menjabat sebagai kepala perwakilan Indonesia di Brussels pada 2015, ia kembali ditunjuk sebagai duta besar Indonesia di Jerman dan kembali melanjutkan diplomasi kelapa sawitnya sampai saat ini.

Menurut dia, dana jadi faktor penting yang mendukung penguatan kampanye positif kelapa sawit di forum internasional. Ia menjelaskan dana yang memadai dapat membantu perwakilan Indonesia melobi politisi di Eropa sampai ke daerah pemilihannya (dapil).

"Jika kita lihat industri lain, mereka punya kantor (perwakilan) di Brussels, bahkan mereka punya representatif yang bertugas melakukan kampanye secara berkala," terang Arif.

Selama ini, kampanye positif sawit baru menyasar pembeli dan pengimpor, tetapi belum secara khusus menyentuh komunitas dalam besar. Padahal, pandangan politisi mengenai kelapa sawit bergantung dengan persepsi masyarakat di daerah pemilihannya.

"Kita belum pernah kampanye  ke dapilnya, bicara dengan konstituen mereka, bicara keadilan dalam industri kelapa sawit," tambah dia.

Di samping itu, Arif mengusulkan agar Pemerintah Indonesia dan pemangku kepentingan terkait kelapa sawit juga perlu mempertimbangkan opsi litigasi/gugatan hukum terhadap pihak-pihak yang secara terbuka melarang adanya kelapa sawit.

Dalam 10 tahun terakhir, beberapa kajian yang dipublikasikan di laman resmi Komisi Eropa dan Parlemen Eropa -- dua lembaga di bawah Uni Eropa (EU)-- menyebutkan sejumlah dampak buruk kelapa sawit terhadap lingkungan dan aspek sosial masyarakat. Tidak hanya itu, EU juga berencana mengurangi secara bertahap penggunaan bahan bakar berbahan kelapa sawit mulai 2023 sampai 2030.

Terkait rencana itu, Indonesia pada akhir tahun lalu melayangkan aduan ke Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) dan menyampaikan EU membuat langkah "diskriminatif" terhadap produk kelapa sawit, salah satu komoditas ekspor utama Indonesia.

Baca juga: WHO tanggapi protes Indonesia soal informasi keliru sawit
Baca juga: Perusahaan sawit bantu jaga ketahanan pangan Orang Rimba

Pewarta: Genta Tenri Mawangi
Editor: Mulyo Sunyoto
Copyright © ANTARA 2020