Jakarta (ANTARA) - Indonesia Ocean Justice Initiative (IOJI) mengingatkan agar Omnibus Law atau RUU Cipta Kerja menerapkan metode single subject (undang-undang satu tema).

"Omnibus Law ini bukan single subject. Ada 79 UU, minimal 11 kluster, atau mungkin lebih dari itu. Ada potensi kelemahan yang dialami setiap Omnibus Law yang multi and diverse subject. Kalau perpajakan mungkin single subject, kamla (keamanan laut) single subject," ujar CEO IOJI, Mas Achmad Santosa di Jakarta, Rabu (29/4), kemarin.

Ia menambahkan RUU Ciptaker juga harus ada keselarasan antara judul dengan isinya. "Cipta Kerja ini menarik, kalau lihat judul ingin menciptakan lapangan kerja seluas-luas. Tapi kalau lihat isinya, ini apa kaitan dengan penciptaan lapangan kerja," ucapnya.

Dalam kesempatan itu, ia juga mengatakan, kelebihan Omnibus Law secara umum, yakni menghemat waktu, biaya, memudahkan kesepakatan politik, memudahkan harmonisasi.

"Tapi dari berbagai literatur praktik Omnibus Law dari ratusan tahun sampai saat ini, kelemahannya, yakni, multi dan diverse subjects, menyebabkan kelompok kritis dalam parlemen dan masyarakat sulit dan terbatas untuk berkomentar atau ikut serta dalam proses kerja," paparnya.

Baca juga: Pelaku UMKM optimistis RUU Cipta Kerja bawa dampak positif

Ia menambahkan kelemahan Omnibus Law lainnya, yakni memiliki kecenderungan penyelundupan pasal-pasal yang condong pada kepentingan kelompok tertentu. Dan, tidak dapat mengakomodir kepentingan masyarakat luas.

"Sehingga dalam perkembangan, seperti konstitusi di negara bagian Minnesota, Omnibus Law haruslah single subject. Harus ada keselarasan Omnibus Law dengan isinya," katanya.

Ota, demikian ia biasa disapa, juga mengingatkan agar tujuan RUU Ciptaker itu mencerminkan komitmen Indonesia terhadap Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sustainable Development Goals/SDGs).

"Kalau saya berpendapat bahwa, perjalanan bangsa ini dalam menghasilkan paradigma pembangunan sudah jauh sekali. Stockholm, Rio Declaration, semua dihadiri kepala negara kita, sampai ke SDG 2015. Jadi, instrumen internasional ini menggambarkan paradigma 'economic growth' menuju 'sustainable development'. Ada green growth. Pertanyaannya, Omnibus Law ini apa yang dianut? Apa ini balik ke economic growth atau ada istilah lain? Saya khawatir kita kembali ke economic growth," ucapnya.

Baca juga: KSPI batalkan aksi unjuk rasa
 

Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Adi Lazuardi
Copyright © ANTARA 2020