Jakarta (ANTARA) - Dunia sedang beradu cepat, kali ini bukan untuk saling sikut antar negara dalam meraih medali terbanyak di ajang Olimpiade, tapi memutus mata rantai penyebaran virus corona baru yang pada Sabtu (4/4), telah menghilangkan 56.985 nyawa penduduk dunia.

Jumlah kematian itu terjadi hanya dalam waktu 104 hari setelah Organisasi Kesehatan Dunia (World Health Organization/WHO) mengumumkan keberadaan sumber penyakit yang penyebaran pertama kalinya terjadi di Kota Wuhan, Provinsi Hubei, China.

Jika dirata-rata 548 orang kehilangan nyawa dalam satu hari, atau 23 jiwa penduduk dunia melayang hanya dalam waktu satu jam saja.

Pada hari ke-104 setelah WHO mengumumkan penyebaran virus corona baru penyebab penyakit COVID-19 tersebut. Bonaire, Sint Eustatius dan Saba yang merupakan kepulauan dan teritori spesial dari Kerajaan Belanda yang berlokasi di Laut Karibia menjadi wilayah baru yang terjangkit COVID-19.

Dengan demikian penyebaran penyakit telah terjadi di 177 negara dan 31 teritori di dunia.

Sementara di Indonesia, sejak kasus positif COVID-19 pertama di Depok diumumkan sebagai Kasus 1 dan Kasus 2 pada 2 Maret 2020, jumlah meninggal dunia mencapai 191 jiwa dan 2.092 orang positif terjangkit. Jika dirata-rata setiap hari ada 61 penambahan kasus baru dan lima meninggal dunia pada 4 April.

Kecepatan SARS-CoV-2 menginfeksi manusia itu diakui ilmuwan dunia mengalahkan virus sebelumnya, Middle East Respiratory Syndrome (MERS) dan Severe Acute Respiratory Syndrome (SARS).

Ibarat kata, virus corona baru tersebut sedang menguji coba teknologi 5G yang diprediksi memiliki kecepatan sekitar 800Gbps, atau seratus kali lebih cepat dari kecepatan generasi sebelumnya, 4G.

Pertanyaannya saat ini, bagaimana mengalahkan virus yang melesat cepat tersebut?

Baca juga: WHO anjurkan frasa "physical distancing" daripada "social distancing"

Baca juga: WHO sebut karantina wilayah tidak cukup untuk kalahkan virus corona



Serang balik virus

Direktur Jenderal WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menyerukan negara-negara di dunia untuk menyerang balik virus corona baru atau SARS-CoV-2 yang telah membuat 1.051.635 orang di dunia terjangkit COVID-19 pada Sabtu (4/4).

Tedros meyakini dengan menyerang virus dengan langkah-langkah agresif dan komprehensif akan lebih cepat mengakhiri pembatasan sosial dan mengurangi dampak ekonomi negara.

“Temukan, tes, isolasi dan sembuhkan setiap kasus, lacak setiap kontak,” ujar Tedros menjelaskan gerak cepat yang harus dilakukan setiap negara yang menangani kasus per kasus COVID-19.

Ia menegaskan jika negara-negara di dunia terburu-buru atau terlalu cepat mencabut pembatasan sosial, virus dapat muncul kembali dan dampak ekonomi bahkan bisa lebih parah dan berkepanjangan.

Tedros meminta semua negara bisa memastikan pendanaan untuk memutus mata rantai virus dipenuhi. Penemuan kasus baru, tes COVID-19, pelacakan kontak, pengumpulan data, dan kampanye komunikasi dan informasi publik tidak boleh terputus, karena semua itu inti dari cara menyerang balik sumber penyakit tersebut.

Ia juga meminta agar setiap negara bersama mitra memperkuat fondasi sistem kesehatan. Artinya, semua petugas kesehatan harus dibayar gajinya, dan pastikan pendanaan tersedia untuk membeli pasokan alat medis.

Tedros menyerukan semua negara menghilangkan hambatan finansial demi mengurus pandemi COVID-19. Jika ada yang menunda atau melepas tangan karena persoalan finansial, mereka tidak hanya membahayakan diri sendiri tetapi juga membuat pandemi menjadi lebih sulit untuk dikendalikan dan membuat masyarakat menjadi semakin berisiko terkena.

Ia menyebut beberapa negara menangguhkan biaya layanan kesehatan dan menyediakan pengujian dan perawatan gratis untuk penanganan COVID-19, terlepas dari persoalan asuransi seseorang, kewarganegaraan, atau status tempat tinggal.

“Kami mendorong langkah-langkah tersebut. Ini kondisi krisis yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang menuntut respons yang juga belum pernah dilakukan sebelumnya,” ujar Tedros.

Baca juga: Jangan lupakan fundamental penanganan melawan COVID-19

Baca juga: Purwarupa alat tes corona buatan Indonesia rampung

Kecepatan daerah

Guna menindaklanjuti penetapan kedaruratan kesehatan masyarakat menghadapi COVID-19 dan penerapan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) oleh Presiden Joko Widodo pada 31 Maret 2020, maka pada Jumat (3/4), Menteri Kesehatan Terawan Agus Putranto mengeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19.

Namun, Permenkes yang menjadi petunjuk teknis (juknis) pelaksanaan PSBB sebagaimana Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar dalam Rangka Percepatan Penanganan COVID-19 tersebut disambut beragam oleh mereka di daerah.

Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo mengatakan segera melakukan percepatan dalam penanganan COVID-19 di provinsinya setelah keluarnya PP tentang PSBB dan Keputusan Presiden (Keppres) tentang Kedaruratan Kesehatan Masyarakat tersebut.

"Apa yang sudah kami siapkan kemarin, sekarang sudah terpayungi. Tugas kami selanjutnya adalah mengakselerasi ini agar bisa segera dieksekusi," katanya.

Ganjar menjelaskan bahwa akselerasi penanganan COVID-19 di Jawa Tengah (Jateng) akan fokus pada sisi kesehatan, ekonomi, dan jaring pengamanan sosial.

"Saya harap kawan-kawan di Pemprov bisa cepat melakukan aksi. APBD-nya dikoreksi, refocusing, relokasi, dan realokasi anggaran dipercepat untuk mendukung tiga sektor utama itu," ujar dia.

Dirinya merasa lega dengan telah ditetapkannya aturan dari pemerintah pusat dalam penanganan COVID-19 karena hal itu dapat membantu pemerintah daerah untuk segera melakukan tindakan di daerah masing-masing.

Namun, mengenai pembatasan wilayah di Jateng, Ganjar menerangkan perlu menghitung secara teliti berdasarkan fakta, serta data di lapangan agar bisa menyejukkan masyarakat. Selain itu masyarakat perlu dilibatkan agar mereka tidak panik.

Menurut Ganjar, pembatasan wilayah dapat digunakan dengan basis yang paling mudah, yakni daerah yang ada pasien positif, maka rumah sakit tempat mereka dirawat serta tempat tinggal dapat dibatasi.

Sementara, menurut ahli epidemiologi dari Universitas Andalas Defriman Djafri Ph.D, syarat pengumpulan data termasuk peningkatan kejadian transmisi lokal untuk mengajukan PSBB seperti yang tercantum dalam pasal 4 Permenkes Nomor 9 Tahun 2020 tersebut tentu bisa memberatkan daerah karena punya keterbatasan ahli epidemiologi.

"Pertanyaannya adalah siapa yang mampu memberikan penjelasan data peningkatan jumlah kasus dan kejadian transmisi lokal ini?" kata dia.

Salah satu akar masalah dari pasal 4 pada Peraturan Menteri Kesehatan tersebut adalah belum tentu semua provinsi, kabupaten maupun kota di Tanah Air memiliki ahli epidemiologi yang bisa menjelaskannya.

Seharusnya itu semua disiapkan dinas kesehatan di daerah, kata dia. Namun, mungkin karena adanya keterbatasan pemahaman serta kekurangan tenaga epidemiologi untuk bisa memprediksi itu, maka menjadi suatu kendala bagi daerah dalam mengajukan PSBB ke pemerintah pusat.

"Saya menyarankan agar pemerintah daerah segera bekerja sama dengan akademisi atau profesi epidemiologi yang bisa memberikan bukti atau data ke kepala daerah," kata Dekan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Andalas tersebut.

Sudah lima hari semenjak Presiden Joko Widodo mengumumkan Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat COVID-19. Belum diketahui daerah mana sudah mengajukan dan bagaimana PSBB akan dilaksanakan di daerah.

Kemampuan dan kecepatan masing-masing daerah berbeda-beda dalam menyiapkan permohonan penetapan PSBB ke Menteri Kesehatan menjadi kekhawatiran tersendiri di daerah. Pada saat yang sama, virus corona baru tidak pandang bulu, menyebar hingga ke pelosok dunia dengan cepat.*

Baca juga: Pemerintah apresiasi keluarga Indonesia yang disiplin tinggal di rumah

Baca juga: Ketua Satgas COVID-19 Bali minta jangan kucilkan ABK kapal pesiar

Baca juga: Jubir: 164 sembuh dan 2.273 kasus positif COVID-19 di Indonesia


Editor: Erafzon Saptiyulda AS
Copyright © ANTARA 2020