kita akan melihat negara maju dan negara Islam bagaimana cara pelaksanaannya
Banda Aceh (ANTARA) - Masyarakat Kota Banda Aceh berharap pemerintah setempat kembali menghadirkan bioskop di ibu kota Provinsi Aceh tersebut, seperti yang pernah ada sebelum tsunami Aceh 2004 silam.

Warga Banda Aceh Ruhzi (32) menceritakan dirinya sempat menikmati kehadiran bioskop di daerah berjulukan Serambi Mekkah tersebut. Terakhir, dia menonton film pada 2003 bersama teman-temannya saat berusia remaja pada hari Minggu.

"Waktu itu sekitar pukul 14.30 WIB, film kami nonton itu Shaolin Soccer di Gajah Theater di kawasan Kuta Alam Banda Aceh," katanya di Banda Aceh, Senin.

Ia menyebutkan suasana bioskop kala itu terlihat ramai dan kursi terisi semua saat pemutaran film. Sembari nonton film warga juga menikmati kue coklat dan popcorn.

"Saya terakhir nonton di Gajah Theater itu. Film lain saya enggak ingat lagi, yang ingat cuma Shaolin Soccer, karena lucu, setelah kami nonton di bioskop itu baru ada (tayang) di televisi-televisi," katanya.

Baca juga: PFN akan buat bioskop rakyat di kawasan Kota Tua

Tak hanya Gajah Theater, beberapa bioskop lain juga pernah ada di Banda Aceh, seperti Garuda Theater di Biturrahaman, Pas 21 di Pasar Aceh, serta Jelita Theater dan Merpati Theater di Peunayong.

Pengalaman yang sama juga utarakan Rizal (40) warga Banda Aceh lain menyebutkan dirinya ikut menikmati film-film nasional yang diputar di daerah Tanah Rencong tersebut.

Cerita dia, kala itu dirinya sibuk dengan pertandingan turnamen sepak bola antara kampung (Tarkam), sekali pertandingan dirinya mendapatkan bayaran, dan uang itu digunakan untuk nonton bioskop bersama rekannya.

"Saat itu sekali main Tarkam itu ada uang Rp150 ribu, jadi malam-malam langsung nonton bioskop. Film waktu itu Eiffel I'm in Love tahun 2003, termasuk film Aryo Wahab judulnya Biarkan Bintang Menari," katanya.

Rizal berharap pemerintah setempat dapat mengembalikan kejayaan bioskop di provinsi paling barat Indonesia tersebut. Selama ini, ujarnya ia menyempatkan diri menonton bioskop ketika mendapatkan tugas ke luar Aceh.

"Sekarang hasrat untuk nonton film enggak ada lagi karena sudah tidak ada lagi bioskop, kadang kalau ada dinas ke luar (Aceh), ada waktu luang maka singgah di bioskop. Kita berharap ada lagi bioskop di Banda Aceh," katanya.

Pengalaman senada juga disampaikan warga Banda Aceh, Fitri (35) mengatakan pernah menonton film Ada Apa Dengan Cinta (AADC) pada 2002 di Garuda Theater, dan juga menonton film Eiffel I'm in Love pada 2003 di Gajah Theater.

Saat itu ia masih berstatus mahasiswa semester satu, nonton bersama keponakannya yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP).

Gambaran dia, ketika itu suasana dalam bioskop riuh, penuh dengan penonton, dan tanpa ada pembatas atau pemisahan antara perempuan dan laki-laki.

"Waktu itu tiket film Effel I'm in Love sekitar Rp8 ribu per orang, rata-rata penonton film ini memang SMP dan SMA. Setelah tsunami 2004 sudah enggak ada lagi (bioskop), tutup," katanya.

Lebih lanjut, kata dia, pemutaran film di bioskop juga ada batasan umur. Bagi remaja yang ingin menonton film maka membeli tiket dengan memperlihatkan kartu siswa. Katanya, bagi anak-anak juga disediakan film bernuansa anak seperti film kartun.

"Misalnya kayak keponakan saya itu nonton film Effel I'm in Love itu ada pendampingnya saya. Untuk anak-anak juga ada juga film kartun. Waktu itu ada juga mobil keliling yang memberikan informasi kalau ada pemutaran film baru," katanya.

Selain itu, kata Fitri, tidak hanya diputar film-film layar lebar nasional, bioskop di Banda Aceh juga menjadi tempat edukasi bagi pelajar. Guru-guru turut membawa muridnya ke bioskop untuk menonton film sejarah Indonesia seperti G-30SPKI, Cut Nyak Dhien, dan film sejarah lainnya.

"Selama ini saya kalau mau nonton pasti ke luar Aceh. Saya berharap ada lagi bioskop di Banda Aceh, karena saya hobi nonton," katanya.

Baca juga: Bioskop rakyat hiburan bagi semua kalangan

Pemerintah tunggu restu MPU

Wali Kota Banda Aceh Aminullah Usman mengatakan pihaknya tidak menolak pembangunan bioskop di Banda Aceh. Namun untuk itu harus mendapatkan restu dari Majelis Permusyarawatan Ulama (MPU).

"Kalau sepanjang mereka (MPU) sudah oke, ya kita, saya oke saja (membangun) bioskop di Banda Aceh," katanya di Banda Aceh.

Baru-baru ini, Menteri Agama Republik Indonesia Fachrul Razi juga mengeluarkan pernyataannya yang heran lantaran bioskop tidak memiliki izin operasi di Aceh, sedangkan di Jeddah Arab Saudi yang juga negara Islam memiliki dua bioskop.

Kata Aminullah, Pemko Banda Aceh tidak menolak jika ada rencana pembangunan bioskop di ibu kota Aceh. Namun sebelum dilakukan tentu pihaknya lebih dulu akan melakukan penelitian terkait pelaksanaan bioskop di negara Islam.

"Kalau kami Banda Aceh tidak mengatakan tidak bisa (membangun bioskop), kita akan melihat negara maju dan negara Islam bagaimana cara pelaksanaannya, jadi nanti setelah itu kita sepakati juga dengan MPU," katanya.

Lebih lanjut, Aminullah juga mengatakan bahwa pemerintah kota akan menyiapkan qanun (perda) terlebih dahulu jika ada investor yang berencana ingin membangun bioskop di Banda Aceh.

“Iya kita begini, kalau nanti sudah ada wacana investor membangun bioskop maka kita sebelumnya akan menyiapkan qanun dulu,” katanya.

Tak cocok dengan masyarakat

Wakil Ketua MPU Aceh Tgk Faisal Ali mengatakan bioskop bukan sesuatu yang penting dibangun di Aceh. Menurut dia bioskop tidak membawa manfaat untuk masyarakat daerah Serambi Mekkah tersebut.

"Saya kira, siapa pun, di mana pun, tidak terkait apa pun, kita di Aceh melihat bioskop tidak ada sesuatu yang manfaat, jadi saya rasa tidak perlu dibangun bioskop," katanya di Banda Aceh.

Menurut dia, jika dikatakan bioskop sebagai wadah hiburan maka masyarakat Aceh cukup banyak memiliki hiburan lain selain bioskop. Kata dia, tidak substansi Kementerian Agama RI untuk membanding-bandingkan Aceh dengan Jeddah.

"Jadi kita di Aceh belum tentu semua yang ada di daerah lain, negara lain, cocok dengan kita, belum tentu," katanya.

Baca juga: Walikota: Ijin bioskop di Banda Aceh tunggu restu MPU

Editor: Zita Meirina
Copyright © ANTARA 2020