Jakarta (ANTARA) - Pakar Hukum Tata Negara, Fahri Bachmid mengatakan diskursus masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden tiga periode akhir-akhir ini adalah sebuah diskursus yang wajar saja dan tidak perlu dibesar-besarkan.

Sebab, di dalam UUD Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 amandemen pertama mengatakan tentang masa jabatan Presiden dan Wakil Presiden lima tahun, dan setelah itu dapat dipilih kembali dalam masa jabatan yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan.

“Jadi mengenai masa jabatan presiden sebenarnya konsep pembatasan yang diatur dalam norma pasal 7 UUD 1945 sebagai hasil amandemen pertama masih sangat relevan, serta sejalan dengan konsep negara demokrasi konstitusional,” ujar Fahri dalam keterangan tertulis yang diterima ANTARA di Jakarta, Minggu.

Peraih gelar Doktor di bidang Hukum Tata Negara dari Universitas Muslim Indonesia Makassar itu berpendapat jika pranata pembatasan kekuasaan presiden secara filosofis tidak terlepas dari konsekuensi penerapan sistem pemerintahan presidensial.

Baca juga: Hasto: Amendemen hanya haluan tidak masa jabatan presiden

Baca juga: Perpanjangan masa jabatan presiden, Fadli Zon: Itu wacana berbahaya

Baca juga: Masa jabatan presiden, Surya Paloh: Perlu libatkan publik


Karena, menurut Fahri, secara hukum tata negara disebutkan bahwa kedudukan dan eksistensi presiden sebagai kepala negara (head of state) sekaligus sebagai kepala pemerintahan (chief of executive) yang memiliki kekuasaan sangat besar.

Jika demikian, maka secara doktrinal masa jabatan Presiden harus mutlak dibatasi oleh konstitusi, dan itu telah diterima secara universal sebagai sebuah konsep rasional dan relevan untuk Indonesia sebagai sebuah negara demokrasi.

Tentu, setiap gagasan dan usulan idealnya disertai dengan kajian yang secara akademik dapat dipertanggungjawabkan. Artinya harus mempunyai basis akademik kuat dan komprehensif terkait dengan urgensi serta konteks usulan perpanjangan masa jabatan presiden saat ini.

Salah satu anggota tim kuasa hukum Jokowi-Ma'ruf di sidang sengketa pemilu 2019 di Mahkamah Konstitusi itu meminta agar kemajuan konsep negara demokrasi konstitusional yang sudah terbangun secara baik selama ini tidak mengalami kemunduran.

Sebab, kata dia, sistem dua periode baik secara berturut-turut maupun tidak berturut-turut dalam periode masa jabatan presiden sebagaimana diatur dalam konstitusi telah sangat konstruktif.

"Karena itu berkaitan dengan sistem tata negara yang diatur dalam konstitusi. Dengan demikian, maka harus terhindar dari gagasan serta usulan yang bersifat parsial dan kering nilai filosofis,” kata Fahri.

Menurut Fahri, kekuasaan kepala negara dibatasi oleh UUD 1945 meliputi isi dan substansi kekuasaan, serta pembatasan kekuasaan yang berkaitan dengan waktu dijalankannya kekuasaan negara tersebut.

Kemudian tergambar dari perdebatan-perdebatan politik dan akademik pada Panitia Ad Hoc I Badan Pekerja Majelis Permusyawaratan Rakyat (PAH I BP MPR) berkaitan dengan pembatasan masa jabatan presiden, dan sebagaimana terdapat dalam rumusan final yang terdapat dalam ketentuan pasal 7 UUD NRI tahun 1945 hasil perubahan pertama itu.

Pewarta: Abdu Faisal
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2019