Solo (ANTARA) - Ahli gizi dari Universitas Sebelas Maret (UNS) Surakarta dr Yulia Lanti Retno Dewi mengatakan kekurangan iodium masih menjadi permasalahan kesehatan masyarakat di dunia termasuk Indonesia.

"Dari data yang saya peroleh khusus di Indonesia masih ada sekitar 54 juta penduduk Indonesia yang kekurangan iodium," katanya di Solo, Senin.

Ia mengatakan kekurangan oidium yang berdampak pada gangguan kesehatan tersebut menyerang segala usia, mulai dari janin, bayi baru lahir, anak-anak, remaja, ibu hamil, hingga orang dewasa.

Baca juga: Ibu Hamil Kekurangan Iodium Sebabkan Bayi Kerdil

Ia mengatakan sejauh ini pemerintah sudah melakukan segala upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut, di antaranya dengan memberikan suntikan kepada ibu hamil dan wanita usia subur serta penyebaran kapsul iodium.

Meski demikian, dikatakannya, kendala yang dihadapi adalah biaya yang terlalu besar sehingga akhirnya digunakan garam beriodium.

Baca juga: Tips mengenali garam beryodium

Terkait hal itu, beberapa waktu lalu ia telah melakukan penelitian terkait permasalahan tersebut.

Menurut dia, salah satu penemuan yang diperolehnya adalah faktor lingkungan menjadi salah satu penyebab kekurangan iodium di suatu wilayah.

"Saya melakukan penelitian di Ngargoyoso, Karanganyar. Kawasan ini dikenal sebagai endemik Gangguan Akibat Kekurangan Iodium (GAKI). Tingkat GAKI di daerah itu terus meningkat meski garam beriodium telah didistribusikan," katanya.

Baca juga: Kadar Iodium Radioaktif 1.150 Kali di Laut Jepang

Berdasarkan data, dikatakannya, pada tahun 2004 "total goiter rate" (GTR) atau jumlah anak sekolah dasar yang menderita gondok dibagi dengan jumlah sekolah dasar yang diperiksa sebanyak 17,1 persen.

"Tetapi pada tahun 2010 angka ini meningkat menjadi 51,1 persen," katanya.

Ia mengatakan faktor lingkungan yang berdampak pada rendahnya kandungan iodium di suatu wilayah di antaranya penggundulan hutan, curah hujan tinggi, dan erosi.

Oleh karena itu, dari hasil penelitian tersebut ia merekomendasikan pemerintah agar melakukan sejumlah upaya, salah satunya dibatasinya pemberian IMB di kawasan pegunungan untuk meminimalisasi terjadinya erosi.

"Selain itu juga memperbaiki kualitas garam dan melakukan pemberantasan telur cacing melalui pemberian obat cacing," katanya.

Sementara itu, atas penelitiannya tersebut Yulia dikukuhkan sebagai guru besar ke-202 UNS dan ke-42 di Fakultas Kedokteran. Upacara pengukuhan akan dilaksanakan di Auditorium GPH Haryo Mataram UNS, Selasa (15/10).
 

Pewarta: Aris Wasita
Editor: Heru Dwi Suryatmojo
Copyright © ANTARA 2019