Jakarta (ANTARA) - Presiden Jokowi Jumat menyampaikan pidato di hadapan MPR, DPR dan DPD. Tiga pidato dijalani oleh Presiden Jokowi sejak Jumat (16/8) pagi.

Dimulai dengan pidato di depan Sidang Tahunan MPR pada pukul 08.30 WIB, kemudian diikuti dengan pidato kenegaraan di hadapan Sidang Bersama DPR dan DPD pada pukul 10.00 WIB dan diakhiri dengan penyampaian keterangan pemerintah atas RUU tentang APBN 2020 beserta nota keuangannya di depan rapat paripurna DPR pada pukul 14.00 WIB.

Dalam tiga kesempatan tersebut, Presiden yang awalnya mengenakan jas berwarana biru dengan songkok hitam, kemudian berganti pakaian adat Suku Sasak dari Nusa Tenggara Barat saat pidato kenegaraan dan kembali mengenakan jas warna biru pada saat penyampaian nota keuangan.

Penggunaan pakaian adat saat menyampaikan pidato kenegaraan sebelumnya telah dilakukan Jokowi, yaitu pada 2017 lalu. Dalam kesempatan itu, Jokowi mengenakan pakaian adat Bugis, Sulawesi Selatan.

Sementara itu, Presiden dalam tiga kesempatan berpidato, menyampaikan sejumlah kebijakan yang telah diambil aparatur negara dan pemerintahan. Jokowi menyampaikan raihan yang telah dicapai lembaga-lembaga negara, pemerintah, serta APBN yang akan diajukan untuk 2020.

Pidato presiden tersebut ditanggapi beragam dan diapresiasi oleh kalangan pengamat mau pun politisi.

Fenomena "regulasi zombie"

Pengamat hukum tata negara dari Universitas Udayana Jimmy Zevarius Usfunan menyebutkan salah satu poin pidato kenegaraan Presiden Jokowi yang membahas mengenai regulasi tumpang tindih, merupakan tantangan tersendiri bagi pemerintah di masa yang akan datang.

"Poin pidato kenegaraan Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR (terkait regulasi), merupakan tantangan dalam pemerintahan ke depan, yang harus di atasi," ujar Jimmy melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Jumat.

Menurut Jimmy terdapat banyak regulasi yang sudah dibatalkan, namun kemudian muncul kembali dalam peraturan yang baru yang dia sebut sebagai "regulasi zombie".

Fenomena "regulasi zombie" tersebut merupakan hal yang harus segera diatasi, karena selain tidak hanya menyulitkan masyarakat namun juga dapat menghambat laju pembangunan.

"Setidaknya, dimulai dengan menempatkan orang yang paham terhadap masalah regulasi dan pemecahannya selama ini, dalam mendukung kerja kabinet," ujar Jimmy.

Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember Dr Bayu Dwi Anggono menilai laporan kinerja lembaga negara yang disampaikan Presiden Joko Widodo pada Sidang Tahunan MPR luput menampilkan kendala dan tantangan yang dihadapi lembaga negara tersebut.

"Pidato itu menutup fakta persoalan yang dihadapi lembaga-lembaga negara. Semua yang ditampilkan itu isinya baik-baik semua," ujar Bayu kepada ANTARA saat dihubungi di Jakarta.

Menurut dia, hendaknya lembaga negara secara sportif mengakui banyak persoalan di lembaga negara.

Ia mencontohkan DPR masih banyak anggota dewan yang terkena kasus korupsi. Kasus terakhir suap impor bawang putih, banyaknya proyek-proyek yang melibatkan DPR hingga terjerat kasus korupsi, malasnya anggota DPR bersidang, target legislasi yang tidak selalu tercapai.

"Legislasi malas bersidang, kasus korupsi di DPR kenapa tidak mau secara jujur diakui, DPR kita masih punya banyak problem," ucapnya, menegaskan.

Contoh lainnya, Mahkamah Agung (MA) masih banyak jaksa yang ditangkap karena kasus korupsi dan masih banyak pekerjaan rumah dalam sistem peradilan.

Begitu juga di Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) ada oknum-oknum yang terlibat dalam kasus jual beli. Komisi Yudisial (KY) dinilai sibuk dengan dirinya sendiri di tengah banyaknya hakim yang ditangkap karena kasus korupsi tapi tidak diproses secara etik.

"KY sekarang tidak lebih sekarang dari sebuah pansel (panitia seleksi). Pansel mahkamah, padahal fungsinya bukan itu. KY itu mencegah penyelewengan-penyelewengan yang dilakukan oleh hakim," katanya.

Menurut Bayu, harusnya lembaga-lembaga negara berani terbuka mengakui kendala-kendala yang dihadapinya.

Sementara pengamat politik dari Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta Adi Prayitno menilai Presiden RI Joko Widodo ingin menunjukkan dirinya sebagai pemimpin yang pluralis.

"Pidato kedua, Presiden Jokowi klimaks. Ini karena tiga hal. Pertama, Jokowi menunjukkan dirinya sebagai pemimpin pluralis dengan menyebut visi Indonesia maju tak hanya urusan presiden dan wakilnya, tetapi merupakan kolaborasi semua pihak seperti DPR, yudikatif, semua partai politik, budayawan, dan LSM," tutur Adi Prayitno di Jakarta.

Kedua, lanjut dia, Presiden Jokowi pada periode kedua pemerintahannya ingin menunjukkan diri sebagai presiden orisinal yang tak bisa diintervensi siapa pun.

"Penegasan Jokowi ingin memimpin langsung perubahan adalah sinyal keras bahwa birokrasi, anggaran, budaya kerja, dan semua unsur harus cepat tanggap merespons kompetisi zaman," kata Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia ini.

Bahkan, lanjut Adi, Jokowi tak segan-segan akan mengamputasi anggaran dan birokrasi yang menghambat kemajuan bangsa.

Ketiga, Jokowi minta izin di hadapan anggota MPR RI untuk pindah ibu kota. Ini merupakan momentum yang sangat ditunggu publik sebagai ikhtiar politik untuk melakukan pemerataan pembangunan dan ekonomi yang tak hanya Jawa sentris.

"Jelas ini langkah revolusioner Jokowi pada periode keduanya," tegasnya.

Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (Puskapsi) Fakultas Hukum Universitas Jember (Unej), Dr Bayu Dwi Anggono mengatakan Presiden Joko Widodo menampilkan pendidikan politik yang baik bagi masyarakat, juga generasi muda Indonesia ketika menyapa Sandiaga Uno yang hadir dalam Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) di Gedung MPR DPR, Jakarta, Jumat.

"Kita apresiasi pidato Presiden Jokowi khusus menyapa pak Sandiaga Uno, itu adalah pendidikan politik yang baik pasca-pemilu," kata Bayu.

Bayu mengatakan seluruh rakyat Indonesia tahu, Sandiaga Uno merupakan rival dalam proses Pemilu 2019 yang diikuti Presiden Joko Widodo. Sapaan khusus untuk Sandi disampaikan Presiden Jokowi dalam sambutan pidatonya dengan menyebutnya sebagai sahabat.

"Ini pendidikan politik yang baik pasca-pemilu supaya semua kembali menjadi sahabat jadi satu bangsa Indonesia," ucap Bayu.

Tidak hanya itu, pendidikan politik lainnya dari Pidato Presiden Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR tanggal 16 Agustus ini juga diapresiasi oleh Bayu, kala presiden mengingatkan agar tidak ada ego sentris antar-lembaga negara.

"Check and balances itu penting mengimbangi antar-lembaga negara, tapi tidak boleh jadi ego sektoral merasa ada lembaga yang lebih kuat dari lembaga lain, semua harus bergandengan tangan dengan lembaga yang lain," tutur Bayu.

Sepakat dengan apa yang disampaikan Presiden, Bayu mengatakan semua lembaga negara punya tugas, tantangan Indonesia makin berat dan berubah, tantangan globalisasi hanya bisa dijawab dengan kesatuan antara semua lembaga negara.

Terbaik

Sementara Ketua Umum Nasdem Surya Paloh mengatakan pidato kenegaraan Presiden Jokowi dalam Sidang Tahunan MPR dan Sidang Bersama DPR RI-DPD RI, merupakan pidato terbaik selama menjabat presiden.

"Saya pikir ini pidato kenegaraan terbaik yang bisa kita dengar langsung dari Presiden Jokowi semenjak beliau menjadi Presiden," kata Surya Paloh di kompleks parlemen, Jakarta.

Surya mengatakan pidato Jokowi berisi substansi penting baik dari sisi konten mau pun ekspresi. Selain itu, pidato Jokowi dinilai mampu membangun rasa optimisme lebih besar terhadap suatu progres perencanaan Indonesia ke depan.

"Di sisi lain beliau mengingatkan kita tetap meningkatkan kewaspadaan terhadap adanya hal-hal yang bisa menghambat dan merusak harapan kita semua," kata Surya Paloh.

Hal-hal yang dapat merusak harapan serta optimisme bangsa, menurut Paloh yakni ketika adanya gangguan dalam kemampuan bangsa menghormati kemajemukan dan pluralisme.

"Ketika lalai menghadapi tumbuhnya kelompok garis keras dan radikalisme yang semakin meluas, di kehidupan masyarakat kita, ini bisa merusak harapan kita untuk mampu melaksanakan progres akselerasi pembangunan lebih hebat ke depan," jelasnya.

Wakil Ketua MPR RI Ahmad Muzani menilai pidato Presiden Joko Widodo dalam Sidang Bersama DPR-DPD RI pada Jumat siang, mampu membangun optimisme, jelang Hari Ulang Tahun Ke-74 Republik Indonesia (HUT RI).

"Pidato kedua lebih membangun optimisme di HUT Ke-74 RI, mengajak bangsa Indonesia membangun optimisme lebih dan mengingatkan ada situasi berubah dalam dinamika perekonomian global," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Jakarta.

Dia menilai dalam pidatonya, Presiden Jokowi mengingatkan bahwa situasi berubah dan meminta meninggalkan pola dan orientasi lama agar bangsa Indonesia tidak tertinggal.

Menurut Muzani yang juga Sekjen Partai Gerindra itu, terkait rencana pemindahan ibu kota, harus dibicarakan lebih dalam sebelum diambil keputusan.

"Jakarta sudah padat sudah kita rasakan semua, namun apakah ibu kota harus pindah, nanti kita bicarakan," ujarnya.

Politisi Golkar Ace Hasan Syadzily berharap pidato Presiden dalam Sidang Tahunan MPR RI 2019 menggambarkan cita-cita Indonesia menjadi negara maju.

"Kita harapkan bahwa apa yang menjadi cita-cita kita semua menjadikan Indonesia jadi negara maju itu bisa tergambar dari pidato Presiden untuk satu tahun ke depan," kata Ace di Jakarta.

Ace mengatakan dalam mewujudkan cita-cita Indonesia sebagai negara maju, bangsa Indonesia perlu berangkat dari apa yang telah dilakukan selama ini, serta merencanakan segala sesuatu yang akan dilaksanakan ke depan.

Menurut dia pidato Presiden tidak lepas dari kedua hal tersebut.

"Selama ini Presiden Jokowi sudah melakukan upaya yang sangat serius untuk membangun infrastruktur, maka fokus dan orientasi untuk lima tahun ke depan kepada SDM itu juga harus tergambar dalam pidato," kata dia.

Adapun dalam pidatonya sejauh ini, Presiden Jokowi mencermati antara lain pentingnya lembaga legislatif modern guna membangun demokrasi, penghapusan perundang-undangan yang mempersulit, serta perlunya terobosan dalam menyosialisasikan empat konsensus kebangsaan yakni Pancasila, Undang-undang Dasar (UUD) 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), dan Bhinneka Tunggal Ika.

Editor: Chandra Hamdani Noor
Copyright © ANTARA 2019