Jakarta (ANTARA) - Keputusan seorang atlet meninggalkan Pemusatan Latihan Nasional (Pelatnas) Persatuan Bulu Tangkis Seluruh Indonesia (PBSI) kerap dibaca sebagai langkah berisiko.
Selama bertahun-tahun, Pelatnas dianggap sebagai pusat pembinaan terbaik yang memberi kestabilan bagi karier atlet. Karena itu, setiap kabar mundurnya pemain biasanya disertai kekhawatiran: Apakah mereka masih bisa bersaing tanpa fasilitas terpusat?
Contoh paling mutakhir, tentu saja, datang dari pebulu tangkis tunggal putra, Jonatan Christie.
Keputusan Jojo, sapaan akrab Jonatan Christie, keluar dari Pelatnas pada Mei 2025 diambil bukan dalam situasi yang ideal.
Ia datang dari kekecewaan besar di Olimpiade Paris 2024 ketika gagal melewati fase grup. Kekalahan itu begitu menekan hingga sempat membuatnya berpikir untuk berhenti dari dunia bulu tangkis.
Sejak keluar Pelatnas, grafik performa Jonatan meningkat tajam. Ia menembus perempat final Kejuaraan Dunia 2025, lalu dalam dua bulan beruntun merebut gelar Super 500 Korea Open, Super 750 Denmark Open, dan Super 500 Hylo Open. Ia tampil lebih tenang, lebih matang, dan yang paling terasa adalah lebih “lapar”.
Fenomena ini bukan hanya milik Jonatan. Pemain ganda campuran Gloria Emanuelle Widjaja lebih dulu merasakan hal serupa ketika keluar dari pelatnas pada 2022. Berlatih di klub PB Djarum, ia bersama Rehan Naufal Kusharjanto yang pada akhirnya tak lagi di pelatnas pada akhir 2024 menembus final Super 300 German Open dan Orleans Masters, menjadi juara Super 100 Polish Open, hingga perempat final Super 1000 All England.
Stabilitas itu membuat mereka kembali dipercaya memperkuat Indonesia di Piala Sudirman 2025.
Pemain lainnya, Sabar Karyaman Gutama dan Moh. Reza Pahlevi Isfahani juga mengalami perjalanan yang sama sebagai pasangan ganda putra.
Keduanya keluar dari pelatnas pada akhir 2021. Setelah turun sebagai pemain profesional, karier mereka justru melesat.
Mereka merebut gelar Spain Masters 2024 dan berkali-kali menjadi finalis turnamen besar. Musim 2025 bahkan menjadi salah satu musim terbaik mereka karena tiga kali masuk final, meski belum menghasilkan gelar. Masing-masing di turnamen Super 1000 Indonesia Open, Super 300 Macau Open, dan pekan lalu di Super 500 Hylo Open.
Pertanyaan yang muncul kemudian adalah mengapa keputusan keluar pelatnas bisa menjadi titik balik?
Jawabannya kompleks. Pelatnas memberi kenyamanan mulai dari fasilitas lengkap, program latihan terukur, tim pendukung yang solid.
Ketika keluar, seorang pemain dipaksa mengelola banyak hal sendiri. Setiap pertandingan punya bobot lebih besar, setiap kegagalan punya konsekuensi langsung, dan setiap keberhasilan terasa lebih berharga.
Kemandirian lahir dari ketidaknyamanan, dan dalam beberapa kasus, ketidaknyamanan itulah yang memunculkan performa terbaik.
PBSI sendiri menyadari dinamika ini. Sistem promosi–degradasi kini lebih dinamis. Evaluasi lebih cepat dan kesempatan pemain muda diperluas.
Sementara itu, Kabid Binpres PBSI Eng Hian menjelaskan pihaknya sudah menyiapkan program akselerasi regenerasi, termasuk di sektor tunggal putra dengan mengorbitkan nama-nama seperti Alwi Farhan dan Moh. Zaki Ubaidillah.
Di sektor ganda putra, perombakan pasangan, yang kerap disebut “bongkar pasang” bukan hanya reaksi terhadap cedera atau masalah nonteknis yang mengharuskan rotasi, tetapi memang menjadi bagian dari strategi pembinaan yang lebih adaptif.
Pelatih ganda putra, Antonius Budi Arianto, menegaskan pendekatan ini dilakukan untuk mencari kecocokan baru, mengasah fleksibilitas, dan membuka peluang lahirnya kombinasi yang lebih efektif.
Sektor ganda putri juga melakukan hal serupa. Dengan merotasi sejumlah pasangan. Target utama PBSI adalah menemukan racikan terbaik untuk menuju Olimpiade Los Angeles 2028.
Jalur itu bisa berada di dalam pelatnas, bisa pula di luar. Yang tidak boleh hilang justru adalah rasa lapar untuk terus maju, sesuatu, yang menariknya, banyak ditemukan para pemain ketika mereka keluar dari zona nyaman Cipayung.
